Sekolah Kehidupan -->

Iklan Semua Halaman

Sekolah Kehidupan

Mahmud Thorif
05 Juni 2011
Cerita ini saya awali dari Yogyakarta, padahal aku bukan orang Yogya.

Ini terjadi antara tahun 1993 sampai dengan 2001, saya sekolah setelah lulus SD berhenti sampai 3 tahun. Nah selama 3 tahun ini saya belajar di Hidayatullah Yogyakarta. Ternyata belajar di Hidayatullah tidak seperti yang saya bayangkan ketika saya mencoba berangkat dari kampung halaman tercinta. Di sini ya disuruh berkebun, memasak, dan lain sebagainya (kalau saya pikir cari ilmunya (belajar) malah sedikit sekali, mk sampai sekarangpun nggak berilmu, hehehehe).

Yang saya ceritakan ini bukan sekolahnya saya sukses atau tidak (karena sampai sekarang yg namanya sekolah itu ya jadi berilmu, lha inyonge blm ada ilmu) tapi proses yang saya rasakan.

Kembali ke sejarah saya dulu...

Dulu saat saya SD sy termasuk anak lemah yang serinf ditindas temen-temen yang lebih gedhe dan kuat dr saya. Jadi saya tidak heran kalau sekarangpun ada anak-anak yang dipress sama temen-temennya. Kalau jaman dulu, saya SD, mungkin karena anak ndeso nggak ada duit; wong uang saku waktu itu saya selalu diberi Rp50,- lha nek sikye olih apa jajal kuwe duit semono..., biasanya temen-temenku yg lebih kuat meresnya ya tentang jawaban-jawaban yang mereka tidak tahu. Ya saya kasih tahu, wong saya juga nggak berani dengan mereka. Sampai biasanya nilai kita jadi sama-sama baik. Waktu itu aku blm berpikir saya rugi atau untung, pokeke yang penting aman gitu ajah.

Sampai suatu saat, waktu kls enam SD, rangking satu catur wulan pertama sampai 3 anak yang menyabet, tapi saya menganalis (we... masih SD, ndeso meneh kok menganalis, nggak mungkin deh. Ya nggak menganalis lah, tapi berpikir). Ternyata yang rangking satu sampai 3 anak ini anak-anak yang memang pinter (ndak menyombongkan diri lho...). Berarti temen-temen yang suka meres jawaban-jawaban tidak berkutik sama sekali.

Wadow, catur wulan kedua ini ujian bagi saya, saya menurun jadi rangking 3 karena memang rangking pertama cuman satu anak. Saya nggak kecewa banget waktu itu. biasa saja. wong rangking juga nggak dapat apa (menghibur diri tombo kecewa). Sampai akhirnya saya lulus SD dengan rangking 5. Tetap saya terima. Saya punya prinsip waktu itu jangan pernah mencontek, jadi walau rangking 5 tetap bangga (menghibur diri maning kiye).

Selepas lulus SD saya kerjanya cuman cari rumput untuk kambing-kambing, dan tongkrongan dan jalan-jalan (jalan-jalannya dengan berjalan kaki, kadang sampai berpuluh-puluh kilo) dengan temen-temen kampung saya. Hal ini berjalan kurang lebih 2 tahun. Akhirnya saya mendarat di Yogyakarta yang sampai sekarang.

Akhirnya dengan berbekal kemauan mau sekolah di Jogja, saya berangkat, waktu itu banyak temen yang ikut, kalau ndak salah lebih dari 25 anak, wong sampai naik bis pintu satu saja ndak muat, sampai saya yang ngecer sampai ke Jogja. Perjalanan panjang yang tidak menyenangkan, karena saya adalah pemabok (maklum wong ndeso nggak pernah bau bensin) jadi sampai Jogja sudah dengan keadaan yang lemes.

Akhirnya saya belajar di sekolah kehidupan di Yogyakarta, karena memang sekolah kami tidak formal, sekolah tanpa ijazah.

Tahun 1995 baru kami di sekolahkan di sekolah formal, waktu itupun kami melanjutkan di SMP Terbuka, tepatnya di SMP Negeri 1 Pakem, di Jogja Utara. Jangan membayangkan tiap hari bawa tas, buku, bolpen, pensil, ongotan, penggaris, dll terus duduk manis di depan papan tulis dengerin guru menerangkan. Kami berangkatnya seminggu sekali (mengapa kami, karena waktu itu ada 20 an temen saya yang menikmati SMP Terbuka ini). Nah lain harinya ke mana, ya inilah yang saya namakan sekolah kehidupan, selain hari Selasa waktu itu, saya belajar mandiri di Hidayatullah dengan bermacam pembelajaran yang diberikan.

Di SMP saya juga bukan anak yang bodoh-bodoh amat, sehingga kalau cuman rangking 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan seterunsya itu ya biasa (Hehehe cetho mas, kan ngitungnya bisa sampai kehabisan angka). Di SMP ini saya masih memegang prinsip tidak boleh mencontek. Sampai akhirnya saya lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.

SMU Negeri 1 Ngaglik, itu pilihan sekolah saya, walaupun temen-temen banyak yang masuk ke Madrasah, tapi entah pikiran saya waktu itu jatuh ke sekolah terdekat. Karena di samping deket dan bisa berjalan kaki ke sekolah, tentunya ini akan hemat biaya.

3 tahun bergelut di dunia SMA, banyak kenangan manis yang sayang kalau dilupakan (ce ilee). Mulai dari pelajaran olahraga yang dapat nilai 4 di rapot, nggak pernah ikut pramuka, sampai dikatakan anak yang jarang berangkat. Ya kalau saya pribadi sih maklum, lha wong waktu SMP berangkat sekali seminggu, ini kok berangkat tiap hari, mana tahaaann...

Di SMA inilah saya merasa sudah agak kacau dalam belajar, nilai jeblog itu sudah biasa bagi saya. Di kelas satu memang masih lumayan, maksudnya masih berprinsip tidak mencontek, tapi di kelas dua, prinsip ini sirna. Melihat temen-temenku yang waktu mau THB pada buat catatan-catatan kecil-kecil lalu di masukkan saku (ndak cewek dan juga cowok, hampir rata satu kelas, kecuali beberapa yang prinsip tidak mencontek masih kuat) untuk dijadikan bahan jawaban saat tidak bisa menjawab.

Pernah di suatu THB kelas dua, saya duduk di depannya pengawas (meja paling depan), ealah, sempet-sempetnya saya buka contekan, waktu itu ndak cuman catatan kecil-kecil, tapi soal tahun yang lalu (kata temen-temennku soalnya sama dengan tahun yang lalu). Sampai akhirnya saya kecekal sama Ibu Guru yang mengawasi THB (kalau menginget kisah ini saya sebenarnya menyesal, kok bisa ya. Maaf untuk Ibu pengawas waktu itu, Ibu Sutinah, semoga Ibu sekeluarga mendapat rizki yang melimpah dan keluarga ibu diberi barokah). Mungkin karena kasihan sama saya, saya ming diingatkan jangan mengulang. Malu dan isin campur aduk waktu itu. Sampai akhirnya saya lulus tahun 2001 di SMA ini (Jangan tanya nilai dalam bentuk angka selulus SMA, wong lulus saja sudah mending).

Aku kehilangan prinsip hidup saya, TIDAK BOLEH MENCONTEK, waktu di SMA ini. sebuah prinsip hidup yang dibangun bertahun-tahun tapi pecah berkeping-keping hanya sekitar dua tahun. Saya rasa ini adalah hasil dari pergaulan dengan temen-temen yang suka dg hal ini, jadi saya jadi ikut dan kathut.

Hilangnya prinsip hidup ini sampai juga ke bangku kuliah saya (Saya kuliah D3 dan alhamdulillah tidak lulus). Perilaku JELEK mencontek masih ada dalam diri ini, kalau kata temen-temen kuliah "Membantu orangtua", soale kalau mata kuliah kita mengulang tahun depan tambah biaya. Sebuah guroan yang sangat keliru.

Yah, itulah sepenggal kisah nyata saya. Semoga saya bisa lebih baik lagi untuk mengajarkan prinsip-prinsip hidup kepada anak-anak saya (@[100002334323903:Asma Syahidah Khoirunnisa], @[100002312334143:Muhammad Syahid Askarullah] dan yang satu masih dalam kandungan) juga kepada anak-anak saya di SDIT Hidayatullah Ngaglik Sleman.

Yogyakarta, 13 Mei 2011, 05:31