Cerpen : Kurbanku -->

Iklan Semua Halaman

Cerpen : Kurbanku

Mahmud Thorif
15 September 2015

Oleh Mahmud Thorif

Pada waktu liburan, aku diajak ayah bermain di pasar hewan. Karena hari itu adalah hari libur, terlihat pasar sangat ramai. Banyak orang menjual dan menawarkan dagangan. Iya, hari itu ayah akan memilihkan hewan kurban atas namaku. Hatiku waktu itu sangat senang. Karena baru kali ini ayah akan berkurban atas namaku.

Ah, pasti kambing itu akan diberi kalung atas namaku. Aku selalu iri saat melihat hewan-hewan kurban di sembelih di masjid dekat rumahku.

Siang semakin panas, namun ayah belum menemukan hewan pilihannya. Mungkin uang ayah tidak mencukupi untuk membeli hewan pilihannya. Saya tidak begitu tahu. Terlihat wajah tua ayah mulai lelah siang itu. Kerut di wajah tuanya semakin terlihat jelas. Keringat terlihat sudah mulai mengering. Namun ayah masih ingin sekali membelikanku kambing siang itu. Padahal terlihat pasar mulai sepi, para penjual dan pembeli sudah kembali dan membawa hasil jerih keringat ke kampong mereka masing-masing.

“Ayah, besok saja ya kita cari kambingnya,” begitu rengekku kepada ayah.
“Kenapa, Nak? Kamu capai ya?” kata ayah sambil mengelus kepalaku.
“Iya, Ayah. Saya capai, haus, dan lapar,” Kataku tertunduk lemas.
“Iya, mungkin belum rejeki kita hari ini mendapat hewan kurban untuk kamu, Nak.” Kata ayah.

Akhirnya, ayah mengajak aku pulang mengendarai mobil angkutan umum. Suasana begitu sesak penuh dengan manusia. Bau keringat, bau parfum bercampur menjadi satu menambah aroma di dalam angkutan umum. Kepalaku mulai pusing, perutku mulai mual ingin muntah. Hingga akhirnya aku tertidur di pangkuan ayah.

Kali ini aku sudah bersiap bersama ayah mencari hewan kurbanku. Kulihat ayah juga sudah memakai jaket kesukaannya. Ah, betapa gagah ayahku kalau memakai jaket itu. Ingin rasanya aku selalu dekat dengan ayahku. Ingin rasanya aku memeluk erat ayahku. Ayah yang selalu menyayangiku dengan bermacam caranya. Sering aku dibelikan oleh-oleh saat ayah pulang dari luar kota. Sering aku diberi uang jajan ketika melepas aku sekolah. Sering aku ditenangkan saat aku bertengkar dengan kakakku. Ah, terlalu banyak kebaikkan ayahku yang belum bisa aku balas.

“Ayo, Nak!” ajak ayah, membuyarkan lamunanku yang jauh.
“Iya, Ayah.” Kataku bermalas-malasan.
***

Bus yang kutumpangi mendadak oleng. Pak sopir sudah berusaha mengerem laju busnya, namun bus itu tetap meluncur tajam di sebuah turunan jalan. Aku selintas melihat wajah ayahku di depan mataku. Lalu tiba-tiba sesosok tubuh itu menghalangiku. Dan hanya gelap yang terlihat setelah itu.

“Saya di mana?” lirihku. Serasa seluruh tubuhku sakit.“Ayahku mana?” tanyaku kepada orang di dekatku yang ternyata adalah kakakku. Terlihat kakakku berkaca-kaca menahan tangis. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Bahkan dia berlari kekamar mandi di belakangnya.
***

Dengan dibantu kursi roda, saya merenung dipekuburan yang masih basah. Yang masih diselimuti bunga-bunga harum mewangi. Angin pekuburan menyentuh tubuh lelahku. Iya, Ayahku telah mendahuluiku menghadap Allah. Meninggalkan aku dan kakakku yang masih kecil.

“Yaa Rabb, mengapa Engkau ambil ayahku di saat dia akan membahagiakan ku?” begitu hatiku bergejolak.“ Mungkin inikah arti kurban untukku?” gumamku tertunduk. Aku terbangun dari lamunanku, saat tiba-tiba kakakku menyentuh pundakku.

“Mari kita pulang, Adek.” Ajak kakakku.
“Pulang kemana, Kak.” Kataku dengan suara lemah.
Kakakku terdiam lama. Lalu dia menyeret dan memaksaku meninggalkan pekuburan itu. Entah hendak kemana langkah kami tertuju.

Jogja, 10 Oktober 2013

Berbincang denganku follow twitter @emthorif