Oleh Mahmud
Thorif
Pada
waktu liburan, aku diajak ayah bermain di pasar hewan. Karena hari itu adalah hari
libur, terlihat pasar sangat ramai. Banyak orang menjual dan menawarkan dagangan.
Iya, hari itu ayah akan memilihkan hewan kurban atas namaku. Hatiku waktu itu sangat
senang. Karena baru kali ini ayah akan berkurban atas namaku.
Ah, pasti kambing itu
akan diberi kalung atas namaku. Aku selalu iri saat melihat hewan-hewan kurban
di sembelih di masjid dekat rumahku.
Siang semakin panas,
namun ayah belum menemukan hewan pilihannya. Mungkin uang ayah tidak mencukupi untuk
membeli hewan pilihannya. Saya tidak begitu tahu. Terlihat wajah tua ayah mulai
lelah siang itu. Kerut di wajah tuanya semakin terlihat jelas. Keringat terlihat
sudah mulai mengering. Namun ayah masih ingin sekali membelikanku kambing siang
itu. Padahal terlihat pasar mulai sepi, para penjual dan pembeli sudah kembali dan
membawa hasil jerih keringat ke kampong mereka masing-masing.
“Ayah, besok saja ya
kita cari kambingnya,” begitu rengekku kepada ayah.
“Kenapa, Nak? Kamu capai
ya?” kata ayah sambil mengelus kepalaku.
“Iya, Ayah. Saya capai,
haus, dan lapar,” Kataku tertunduk lemas.
“Iya, mungkin belum rejeki
kita hari ini mendapat hewan kurban untuk kamu, Nak.” Kata ayah.
Akhirnya, ayah
mengajak aku pulang mengendarai mobil angkutan umum. Suasana begitu sesak penuh
dengan manusia. Bau keringat, bau parfum bercampur menjadi satu menambah aroma
di dalam angkutan umum. Kepalaku mulai pusing, perutku mulai mual ingin muntah.
Hingga akhirnya aku tertidur di pangkuan ayah.
Kali ini aku sudah bersiap
bersama ayah mencari hewan kurbanku. Kulihat ayah juga sudah memakai jaket kesukaannya.
Ah, betapa gagah ayahku kalau memakai jaket itu. Ingin rasanya aku selalu dekat
dengan ayahku. Ingin rasanya aku memeluk erat ayahku. Ayah yang selalu menyayangiku
dengan bermacam caranya. Sering aku dibelikan oleh-oleh saat ayah pulang dari luar
kota. Sering aku diberi uang jajan ketika melepas aku sekolah. Sering aku ditenangkan
saat aku bertengkar dengan kakakku. Ah, terlalu banyak kebaikkan ayahku yang
belum bisa aku balas.
“Ayo, Nak!” ajak
ayah, membuyarkan lamunanku yang jauh.
“Iya, Ayah.” Kataku bermalas-malasan.
***
Bus yang kutumpangi mendadak
oleng. Pak sopir sudah berusaha mengerem laju busnya, namun bus itu tetap meluncur
tajam di sebuah turunan jalan. Aku selintas melihat wajah ayahku di depan mataku.
Lalu tiba-tiba sesosok tubuh itu menghalangiku. Dan hanya gelap yang terlihat setelah
itu.
“Saya di mana?”
lirihku. Serasa seluruh tubuhku sakit.“Ayahku mana?” tanyaku kepada orang di
dekatku yang ternyata adalah kakakku. Terlihat kakakku berkaca-kaca menahan tangis.
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Bahkan dia berlari kekamar mandi di
belakangnya.
***
Dengan dibantu kursi
roda, saya merenung dipekuburan yang masih basah. Yang masih diselimuti bunga-bunga
harum mewangi. Angin pekuburan menyentuh tubuh lelahku. Iya, Ayahku telah mendahuluiku
menghadap Allah. Meninggalkan aku dan kakakku yang masih kecil.
“Yaa Rabb, mengapa Engkau
ambil ayahku di saat dia akan membahagiakan ku?” begitu hatiku bergejolak.“ Mungkin
inikah arti kurban untukku?” gumamku tertunduk. Aku terbangun dari lamunanku,
saat tiba-tiba kakakku menyentuh pundakku.
“Mari kita pulang,
Adek.” Ajak kakakku.
“Pulang kemana,
Kak.” Kataku dengan suara lemah.
Kakakku terdiam
lama. Lalu dia menyeret dan memaksaku meninggalkan pekuburan itu. Entah hendak
kemana langkah kami tertuju.
Jogja, 10 Oktober
2013
Berbincang denganku follow twitter @emthorif