Oleh : Asyari Usman
KPU berani ambil risiko besar. Mereka tidak takut akibat manipulasi perolehan suara paslonpres 02. Dengan enteng mereka jawab ‘salah ketik’. Human error. Boleh dikatakan mereka tak perduli teriakan-teriakan keras publik terhadap input angka-angka yang merugikan Prabowo dan menguntungkan Jokowi.
Nah, mengapa KPU begitu berani? Apa yang membuat mereka berani melakukan kecurangan secara terang-terangan?
Siapakah yang sangat gigih dan bersikeras agar Jokowi dinyatakan menang meskipun dengan cara yang curang?
Kekuatan macam apa yang berada di belakang Jokowi sehingga berbagai instansi negara siap menjalankan perintah-perintah yang bertentangan dengan aturan hukum dan etika politik demi kemenangan dia?
Pertanyaan-pertanyaan ini sebelumnya tak pernah terlintas. Tapi, lama kelamaan muncul juga. Ada sesuatu yang terasa luar biasa dalam kontestasi pilpres 2019 ini, yang membuat deretan pertanyaan itu akhirnya mengemuka.
Tetapi, belum lagi sempat menjawab pertanyaan yang berderet-deret itu, muncul pertanyaan lain. Apakah Jokowi ‘one man show’? Mungkinkah dengan latar-belakang karir politiknya yang ‘pas-pasan’ itu (mohon maaf), Jokowi mampu membangun dirinya menjadi presiden yang ‘ditakuti’ semua orang? Sehingga semua titah dia tentang ‘aku harus dua periode’ menjadi wajib direalisasikan?
Kelihatannya, teori Jokowi ‘being feared of’ (ditakuti) sulit masuk akal. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kecil kemungkinan Jokowi ditakuti oleh semua orang. Dia tidak memiliki keistimewaan historis yang membuat semua orang menjadi gemetar mendengar dia bicara. Apalagi pada era sekarang ini. Era yang menggunakan literasi sebagai indikator kompetensi dan profisiensi. Sangat tidak mungkin Jokowi menjadi presiden yang ‘ditakuti’.
Karena itu, kita akan memunculkan pertanyaan berikutnya: ada apa, sebenarnya? Mengapa begitu kuat upaya untuk mencurangi hasil pilpres 2019 ini? Siapakah yang sangat berkepentingan dengan Jokowi dua periode?
Mari kita identifikasi. Bahwa ada beberapa pihak yang sangat ingin agar dia melanjutkan jabatan presiden lima tahun lagi.
Pertama, Jokowi adalah tumpuan harapan para konglomerat pengisap kekayaan rakyat, termasuk --dan terutama-- para konglomerat hitam. Yaitu, para konglomerat rakus yang menjalankan bisnis secara sewenang-wenang di bawah perlindungan orang-orang kuat. Diperkirakan, mereka ini akan ‘terkencing-kencing’ kalau Prabowo yang menjadi presiden. Bagi mereka, Jokowi harus dua periode. Karena mantan walikota Solo itu bisa dikendalikan.
Kedua, RRC ikut dalam barisan yang habis-habis menudukung “wajib dua periode” itu. RRC memiliki mimpi indah untuk ‘menduduki’ Indonesia, baik itu dalam arti pendudukan fisik maupun dalam arti hegemoni ekonomi. Yang sangat jelas adalah, Beijing menyimpulkan bahwa ambisi global mereka melalui ‘jalur sutra gaya baru’ (Belt Road Initiative, BRI) hanya mungkin terwujud jika Jokowi duduk lagi sebagai presiden.
Bagi RRC, Indonesia adalah mata rantai yang sangat penting (krusial) dalam upaya mereka untuk menyukseskan BRI. Sebab, Indonesia adalah pasar dan lahan yang paling empuk untuk dijadikan ‘koloni’ RRC atas nama BRI itu. Dalam beberapa tahun ini, Beijing sengaja mendekap Indonesia dengan pinjaman investasi untuk berbagai proyek infrastruktur.
Tujuan investasi itu tidak lain adalah memikat negara ini untuk masuk ke perangkap utang. Sekarang, Indonesia sudah hampir sempurna masuk ke perangkap utang RRC. Tetapi, insyaAllah, masih bisa diselamatkan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo.
Kalau kemenangan Prabowo tidak dirampas, maka RBI itu akan terhenti total. Ambisi hegemoni ekonomi China menjadi ‘aborted’ (gagal). Jadi, inilah teori kedua tentang ‘Jokowi wajib menang’.
Ketiga, ada segelintir elit yang mengkampanyekan bahwa Presiden Prabowo akan mendirikan negara khilafah. Tudingan ini sama sekali tidak memiliki dasar historis dan empiris. Catatan sejarah prakemerdekaan, masa-masa kemerdekaan, dan pascakemerdekaan menunjukkan bahwa umat Islam tidak pernah menjadi komponen yang egosentris, apalagi ‘selfish’. Sebaliknya, kaum musliminlah yang selalu dijadikan antagonis (musuh) oleh penguasa dzolim. Ini catatan sejarah. Sampai hari ini.
Begitulah keculasan para elit jahat yang selama hidupnya bermental korup dan berwatak brutal. Mereka terus-menerus ingin mendiskreditkan umat Islam demi kenikmatan diri mereka. Mereka ceramahkan kepada kelompok-kelompok minoritas bahwa Prabowo akan mendirikan khilafah.
Kalangan minoritas pun merasa takut. Para elit yang 5-6 orang itu memanfaatkan ketakutan ini. Padahal, semua orang paham reputasi Pak Prabowo sebagai prajurit TNI yang menjadikan NKRI dan kebinekaan sebagai harga mati.
Atas dasar agitasi yang menyesatkan itulah, berkembang pendapat bahwa Prabowo tidak boleh menjadi presiden. Jangan sampai dia menjadi presiden. Elit penghasut dan kalangan yang dihasut kemudian ‘bersepakat’ untuk menghalangi Pak PS.
Mereka itulah yang sekarang mengatur skenario perampasan kemenangan Prabowo di pilpres 2019. Cuma mereka lupa bahwa hari ini bukan 2014.
( Penulis adalah Guru Besar UIKA, Dewan Penasehat ICMI )
KPU berani ambil risiko besar. Mereka tidak takut akibat manipulasi perolehan suara paslonpres 02. Dengan enteng mereka jawab ‘salah ketik’. Human error. Boleh dikatakan mereka tak perduli teriakan-teriakan keras publik terhadap input angka-angka yang merugikan Prabowo dan menguntungkan Jokowi.
Nah, mengapa KPU begitu berani? Apa yang membuat mereka berani melakukan kecurangan secara terang-terangan?
Siapakah yang sangat gigih dan bersikeras agar Jokowi dinyatakan menang meskipun dengan cara yang curang?
Kekuatan macam apa yang berada di belakang Jokowi sehingga berbagai instansi negara siap menjalankan perintah-perintah yang bertentangan dengan aturan hukum dan etika politik demi kemenangan dia?
Pertanyaan-pertanyaan ini sebelumnya tak pernah terlintas. Tapi, lama kelamaan muncul juga. Ada sesuatu yang terasa luar biasa dalam kontestasi pilpres 2019 ini, yang membuat deretan pertanyaan itu akhirnya mengemuka.
Tetapi, belum lagi sempat menjawab pertanyaan yang berderet-deret itu, muncul pertanyaan lain. Apakah Jokowi ‘one man show’? Mungkinkah dengan latar-belakang karir politiknya yang ‘pas-pasan’ itu (mohon maaf), Jokowi mampu membangun dirinya menjadi presiden yang ‘ditakuti’ semua orang? Sehingga semua titah dia tentang ‘aku harus dua periode’ menjadi wajib direalisasikan?
Kelihatannya, teori Jokowi ‘being feared of’ (ditakuti) sulit masuk akal. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kecil kemungkinan Jokowi ditakuti oleh semua orang. Dia tidak memiliki keistimewaan historis yang membuat semua orang menjadi gemetar mendengar dia bicara. Apalagi pada era sekarang ini. Era yang menggunakan literasi sebagai indikator kompetensi dan profisiensi. Sangat tidak mungkin Jokowi menjadi presiden yang ‘ditakuti’.
Karena itu, kita akan memunculkan pertanyaan berikutnya: ada apa, sebenarnya? Mengapa begitu kuat upaya untuk mencurangi hasil pilpres 2019 ini? Siapakah yang sangat berkepentingan dengan Jokowi dua periode?
Mari kita identifikasi. Bahwa ada beberapa pihak yang sangat ingin agar dia melanjutkan jabatan presiden lima tahun lagi.
Pertama, Jokowi adalah tumpuan harapan para konglomerat pengisap kekayaan rakyat, termasuk --dan terutama-- para konglomerat hitam. Yaitu, para konglomerat rakus yang menjalankan bisnis secara sewenang-wenang di bawah perlindungan orang-orang kuat. Diperkirakan, mereka ini akan ‘terkencing-kencing’ kalau Prabowo yang menjadi presiden. Bagi mereka, Jokowi harus dua periode. Karena mantan walikota Solo itu bisa dikendalikan.
Kedua, RRC ikut dalam barisan yang habis-habis menudukung “wajib dua periode” itu. RRC memiliki mimpi indah untuk ‘menduduki’ Indonesia, baik itu dalam arti pendudukan fisik maupun dalam arti hegemoni ekonomi. Yang sangat jelas adalah, Beijing menyimpulkan bahwa ambisi global mereka melalui ‘jalur sutra gaya baru’ (Belt Road Initiative, BRI) hanya mungkin terwujud jika Jokowi duduk lagi sebagai presiden.
Bagi RRC, Indonesia adalah mata rantai yang sangat penting (krusial) dalam upaya mereka untuk menyukseskan BRI. Sebab, Indonesia adalah pasar dan lahan yang paling empuk untuk dijadikan ‘koloni’ RRC atas nama BRI itu. Dalam beberapa tahun ini, Beijing sengaja mendekap Indonesia dengan pinjaman investasi untuk berbagai proyek infrastruktur.
Tujuan investasi itu tidak lain adalah memikat negara ini untuk masuk ke perangkap utang. Sekarang, Indonesia sudah hampir sempurna masuk ke perangkap utang RRC. Tetapi, insyaAllah, masih bisa diselamatkan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo.
Kalau kemenangan Prabowo tidak dirampas, maka RBI itu akan terhenti total. Ambisi hegemoni ekonomi China menjadi ‘aborted’ (gagal). Jadi, inilah teori kedua tentang ‘Jokowi wajib menang’.
Ketiga, ada segelintir elit yang mengkampanyekan bahwa Presiden Prabowo akan mendirikan negara khilafah. Tudingan ini sama sekali tidak memiliki dasar historis dan empiris. Catatan sejarah prakemerdekaan, masa-masa kemerdekaan, dan pascakemerdekaan menunjukkan bahwa umat Islam tidak pernah menjadi komponen yang egosentris, apalagi ‘selfish’. Sebaliknya, kaum musliminlah yang selalu dijadikan antagonis (musuh) oleh penguasa dzolim. Ini catatan sejarah. Sampai hari ini.
Begitulah keculasan para elit jahat yang selama hidupnya bermental korup dan berwatak brutal. Mereka terus-menerus ingin mendiskreditkan umat Islam demi kenikmatan diri mereka. Mereka ceramahkan kepada kelompok-kelompok minoritas bahwa Prabowo akan mendirikan khilafah.
Kalangan minoritas pun merasa takut. Para elit yang 5-6 orang itu memanfaatkan ketakutan ini. Padahal, semua orang paham reputasi Pak Prabowo sebagai prajurit TNI yang menjadikan NKRI dan kebinekaan sebagai harga mati.
Atas dasar agitasi yang menyesatkan itulah, berkembang pendapat bahwa Prabowo tidak boleh menjadi presiden. Jangan sampai dia menjadi presiden. Elit penghasut dan kalangan yang dihasut kemudian ‘bersepakat’ untuk menghalangi Pak PS.
Mereka itulah yang sekarang mengatur skenario perampasan kemenangan Prabowo di pilpres 2019. Cuma mereka lupa bahwa hari ini bukan 2014.
( Penulis adalah Guru Besar UIKA, Dewan Penasehat ICMI )