Tabayun -->

Iklan Semua Halaman

Tabayun

Mahmud Thorif
08 April 2019

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Pada asalnya perintah tabayyun itu merupakan bagian dari larangan berbaik sangka (husnuzhan) terhadap berita yang disampaikan oleh orang-orang yang fasik. Jadi, tabayyun itu satu paket dengan sikap hati-hati, tidak mudah percaya dan bersikap cermat manakala ada orang fasik menyampaikan kabar berita.

Apakah kita berprasangka buruk kepada mereka? Tidak. Tetapi bukan pula berprasangka baik. Yang perlu kita tegakkan ialah sikap hati-hati, tidak menetapkan penilaian dan diam terhadap desas-desus maupun kabar yang masih belum dapat kita verifikasi meskipun kabar itu disampaikan oleh orang yang masyhur, hingga jelas betul kedudukannya. Kita mengambil sikap tawaqquf (berdiam diri tidak memastikan sikap).

Terhadap orang fasik, kita hendaklah tidak mendahului prasangka baik. Kita berhati-hati. Jangan sampai prasangka baik itu menyebabkan kita terjatuh pada kesalahan yang sangat fatal.

Ingatlah firman Allah Ta'ala di dalam Al-Qur'an:

ﻳَٰٓﺄَﻳُّﻬَﺎ ٱﻟَّﺬِﻳﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮٓا۟ ﺇِﻥ ﺟَﺎٓءَﻛُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻖٌۢ ﺑِﻨَﺒَﺈٍ ﻓَﺘَﺒَﻴَّﻨُﻮٓا۟ ﺃَﻥ ﺗُﺼِﻴﺒُﻮا۟ ﻗَﻮْﻣًۢﺎ ﺑِﺠَﻬَٰﻠَﺔٍ ﻓَﺘُﺼْﺒِﺤُﻮا۟ ﻋَﻠَﻰٰ ﻣَﺎ ﻓَﻌَﻠْﺘُﻢْ ﻧَٰﺪِﻣِﻴﻦَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka tabayyunlah (periksa dengan teliti), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujuurat, 49: 6).

Perhatikan, Allah 'Azza wa Jalla menyebut perintah tabayyun beriring dengan peringatan mengenai resiko jika mengabaikan, yakni menimpakan musibah kepada suatu kaum.

Saya jadi teringat dengan perkataan Al-Mawardi dalam Adabud Dun-ya wad Din:

مَنْ حَسُنَ ظَنُّهُ بِمَنْ لَا يَخَافُ اللَّهَ تَعَالَى فَهُوَ مَخْدُوعٌ

"Barangsiapa berprasangka baik kepada orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah Ta'ala maka sungguh dia telah hancur tertipu."

Sebagian ulama memaknai nasehat Al-Mawardi tersebut dengan menyatakan, "Berprasangka baik kepada orang buruk, adalah sikap dungu yang bikin ambruk."

Lalu apa itu tabayyun? Konfirmasi. Memastikan kebenaran informasi.

Kerapkali kita memerlukan tatsabbut, yakni memastikan maksud dari berita yang sudah terverifikasi tersebut. Misalnya beredar potongan video seseorang menerangkan tentang keyakinan sesat suatu kelompok yang menyimpang. Awalnya perlu tabayyun, yakni memastikan apakah betul orang tersebut mengatakan hal itu ataukah tidak. Semisal ternyata benar, perlu tatsabbut, yakni melakukan penelusuran mengenai maksud dan konteks perkataan tersebut. "Oh, ternyata perkataan tersebut dalam rangka menunjukkan contoh keyakinan sesat, tetapi video sengaja dipotong oleh pihak lain sehingga tidak tertangkap maksudnya dengan benar." Nah, dal hal ini ada tabayyun dan sekaligus ada tatsabbut.

Belakangan, istilah tabayyun sering sekali dipakai bahkan oleh orang yang tidak tahu peruntukannya. Maknanya telah terlepas begitu jauh dari pengertian pokoknya. Misal pernah ada yang berkata, "Tabayyun dulu. Memangnya situ sudah baik? Memang Anda sudah dapat menjamin diri Anda nanti pasti masuk surga?" Perkataan ini jelas melenceng jauh dari makna tabayyun. Lebih pasnya introspeksi (muhasabah).

Di komentar media sosial, sering terjadi penggunaan kata tabayyun untuk memojokkan atau untuk mementahkan perkataan. Padahal yang dimaksud bukan tabayyun. Tetapi saya sering memilih untuk diam tak membantah, bukan karena takut dipatahkan bantahan saya, melainkan mengingat sebuah nasehat:

إِنَّ فِي إنْصَاتِك لِلْجُهَّالِ زِيَادَةً فِي الْحِلْمِ، وَفِي إنْصَاتِك لِلْعُلَمَاءِ زِيَادَةً فِي الْعِلْمِ

"Diam saat menghadapi orang bodoh menambah kesantunan. Diam saat bersama orang alim menambah pengetahuan."

Utrecht, 8 April 2019

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku-buku parenting