Oleh : JackVardan
Kontestasi politik makin jelas
terlihat dan terang benderang tentang siapa yang terbunuh karakternya sendiri
atau, mereka yang sibuk membunuh karakter orang lain dengan segenap gorengan
receh yang disebut sebagai “Digital Distraction”. Pola intelijen yang
mengarahkan hal-hal yang semestinya disorot harus dialihkan.
Ya, memang akan ada yang terus
dialihkan. Sehingga hal substansial dalam isu kebangsaan lari dari panggung politik.
Itu yang ditakutkan bagi mereka yang selama ini numpang makan di lingkaran
penguasa. Alur ini semakin terlihat jelas, ketika hal remeh dan plintiran receh
yang digaungkan akun-akun gelembung sabun yang memang mereka bertugas menjadi
corong propaganda. Isu strategis tentang ketahanan nasional seperti coba
dihilangkan.
Ya, ketahanan pangan, ketahanan
ekonomi, demokrasi hingga global politik coba dikaburkan. Kebingungan ini yang
akan coba dibangun oleh tim petahana, karena indicator ekonomi dan ketahanan
pangan yang jelas gagal dengan sederet angka-angka kegagalan. Baik BUMN merugi,
naiknya utang luar negeri, Defisit Neraca Perdagangan yang melebar, Defisit
Migas, Daya Beli, dan sejumlah hal-hal mengenai kebebasan berpendapat yang
dibungkam. Bahkan konyolnya Indonesia menjadi negara terbesar impor gula di
dunia.
Sebuah pertanyaan yang akan menohok
ketika mengingat ada yang berjanji untuk swasembada. Arah Stigmaisasi yang
Pekat. Kebohongan yang berulang melalui lisan dan kebijakan, serta istilah
“mencla mencle” dalam membuat keputusan menjadi aib yang telah dipertontonkan
kepada rakyat. Untuk itu, “Digital Distraction” mengalihkan hal-hal
substansial kemudian lakukan stigma bahwa Prabowo dan Sandi lakukan kebohongan.
Ini jelas pancingan kelas receh
meski berkali-kali para operator isu receh ini menelan ludah mereka sendiri.
Saya memperhatikan bukan hanya “Digital Distraction”, tetapi kedunguan dalam
memahami satire politik. Tempe dan ayam goreng Singapura yang sibuk dicounter
akun gelembung sabun. Padahal perkara tempe terkait dengan komoditas kedelai
yang melambung sehingga banyak perajin tempe yang teriak. Kemudian perkara
“ayam goreng Singapura”, ditelan bulat-bulat bahwa harganya lebih mahal.
Faktanya lebih murah jika diukur
dengan pendapatan perkapita rakyat Singapura. Jadi misal harga di Singapura 5
dan di Indonesia 5, namun pendapatan di Singapura 20 sedangkan di Indonesia 10,
mana yang menjadikannya lebih murah karena perbedaan pendapatan dan jumlah
kebutuhan? Kebingungan Glorifikasi Apapun akan dilakukan untuk sekadar meraih
simpati publik.
Namun sesuatu yang berlebihan tentu
membuat orang-orang yang memperhatikan akan muak sekali. Sebagai contoh kisah
sebuah negeri yang benar-benar dibanjiri dengan polesan media. Semua serba
dipoles, apalagi ketika masuk hajatan 5 tahun sekali. Narasi media begitu
kental dengan aroma polesan. Mulai dari seakan dekat ulama, sederhana, hadir di
pos-pos rakyat, teriak untuk kepentingan kelompok, statistik dan angka
pencapaian yang padahal kontra dengan realita. Itu semua benar-benar menyihir.
Namun saat minimnya prestasi, akibat
janji yang meleset, maka glorifikasi sangat penting. Janji tidak impor nyatanya
impor berbagai komoditas pangan terjadi, janji penegakan hukum kasus
pelanggaran berat HAM tak ada kepastian hukum hingga kini. Janji swasembada
pangan karena akhirnya keran impor begitu deras tentu kontra dengan janji awal.
Janji tidak utang luar negeri, malah porsi utang begitu luar biasa dibanding
rezim sebelumnya. Kasus impor garam, impor sapi, kerbau, sampai daging beku
jelas kontra dengan janji swasembada.
Hampir lupa, cabai, jagung,
singkong, bahkan pacul juga impor. janji-janji seperti buyback indosat, dollar
10.000 kontra dengan realita, bahkan tarif listrik dan janji tidak menaikan BBM
pada tahun tertentu juga jadi omong kosong. Maka glorifikasi sangat penting
untuk memoles objek yang sebetulnya tidak bersinar dan kehilangan kepercayaan.
Hal yang membuat kita muak adalah glorifikasi infrastruktur. Ya, seolah tidak
ada infastruktur sebelum sebuah kekuasaan itu menggurita, klaim yang dilakukan
di atas batas kewarasan.
Ada beberapa contoh yang sempat
beredar luas di media sosial seperti Jembatan Ampera di palembang yang diklaim
sebuah akun medsos sebagai prestasi infrastruktur yang dibangun rezim saat ini,
Jembatan Kelok Sembilan Sumatera Barat yang diklaim sebagai jalan tol di suka
bumi yang dibangun penguasa saat ini, dan bahkan sebuah jalan tol di luar negeri
diklaim sebagai jalan tol di sebuah daerah di Indonesia, dan berbagai macam
klaim lainnya. Seperti kebablasan, menganggap tidak adanya program pembangunan
yang berkesinambungan.
Padahal negara tersebut merdeka
lebih dari 70 tahun, jadi glorifiasi atau klaim membabi buta sangat fatal
akibatnya. Dengan berbagai klaim dan glorifikasi seolah tanpa sosok penguasa
sekarang pembangunan itu tidak ada sebelumnya. Tapi hal itu semua dapat
dibantah dengan jejak digital dan juga rangkaian program pembangunan
sebelumnya. Tidak sampai situ, hal yang paling konyol adalah ketika glorifikasi
ini mengalami kekacauan. Label sederhana dipaksa melalui corong media.
Mulai dari sepatu, andong, jalan
kaki, kaos, sendal jepit, menginap di hotel murah, minum kopi yang dikondisikan
sseolah sederhan namun sangat kontra dengan kebijakan yang tadi disebutkan.
Digital Distraction Ya pola pengalihan hal substansial terhadap isu public dan
mencoba menutup borok dan kepentingan ini yang didengungkan. Sibuk membunuh
karakter Prabowo dan Sandi, karena ada yang sudah terbunuh karakternya sendiri
akibat janji-janjinya sendiri.
Mulai janji control impor, nyatanya
malah menjadi importir terbesar gula di dunia. Impor beras di saat panen raya,
dan terparah adalah hoax Esemka yang menjadi legenda. Mobil dengan teknologi
stealth yang hanya bisa dilihat dengan kacamata citra. Tetapi baik kacamata
atau mobil belum juga lepas di pasaran secara massal, padahal banyak yang
memesan. Oh tidak! Kita bicara industry mobil atau promo kacamata? Kacamata
citra.
Sementara, ketika akun gelembung
sabun sibuk lakukan “digital distraction”, maka akun power poin lainnya akan lakukan
polesan meme dan grafik prestasi dengan rangkaian sudut pandang yang pas. Para
pengagum beton yang tidak peduli dengan neraca perdagangan, persentase ekonomi,
jumlah utang dalam dan luar negeri, mengenai surat berharga negara yang
dilelang dengan bunga tinggi, mengenai deficit migas, dan problem keseimbangan
produksi, distribusi, serta konsumsi.
Namun lagi-lagi para pemuja beton
menjadikan dirinya sebagai lipstik. Ikut menjadi kosmetik memoles padahal ada
fakta lain yang berseberangan dengan materi propaganda.
Lanjut dengan metode “Card
stacking” atau tebang pilih. Yaitu, suatu teknik pemilihan fakta dan data
untuk membangun kasus di mana yang terlihat hanya satu sisi suatu isu saja,
sementara fakta yang lain tidak diperlihatkan. Sebagai contoh infrastruktur
yang dijadikan narasi kosmetik, atau bahkan isu radikalisme yang dijadikan
hantu terus menerus sepanjang pemerintahan berjalan untuk menutupi masalah
lainnya dalam suatu bangsa.
Kemudian dalam teknik propaganda ada
istilah Plain folks, yaitu salah satu teknik propaganda yang menggunakan
pendekatan yang digunakan oleh seseorang untuk menunjukkan bahwa dirinya rendah
hati dan empati dengan penduduk pada umumnya. Sebagai contoh narasi kemeja,
harga sepatu, celana, makan di kedai pinggir jalan, kopi harga murah. Gurita
media pernah mengulang-ulang narasi itu.
Karena aneka kegagalan maka “Digital
Distraction” digunakan untuk menghancutkan karakter lawan dengan isu tak
berkelas, karena ada yang sudah terbunuh karakternya sendiri karena
janji-janjinya sendiri.
Digital Distraction, “Card stacking”
dan “Plain Folks” tadi, akan kembali pada diri mereka sendiri. Sebab struktur
yang membusuk itu sudah busuk sekali. Ledakan sosial takkan terbendung. Jangan
jadi korban pola seperti ini. Penawarnya adalah data dan jejak rekam video
janji seseorang — yang terbunuh karakternya karena janjinya.
Jack
Vardan,
Pegiat Sosial Media
Twitter
: @JackVardan
Sumber
: https://voxjax.wordpress.com