Di negeri ini, jika sedang ada kampanye
politik, maka beramai-ramailah para calon pemimpin mencari simpati
kepada masyarakat. Mulai dari tidur di rumah yang tanpa listrik,
berkunjung ke pasar tradisional, mengunjungi panti asuhan. Pokoknya yang
serba mengenaskan mereka kunjungi, tentu mereka membawa wartawan agar
kegiatan mereka terekspos ke media.
Nah, tidak berhenti di situ saja, para calon
pemimpin di setiap yang dikunjungi akan mengumbar dan mengobral
janji-janji mereka, mulai dari pendidikan gratis (kalau yang ini mah ada
BOS jadi memang gratis), ada yang kesehatan gratis, perumahan gratis,
mau mengatasi pengangguran, mengatasi banjir, mengatasi kemacetan, dan
semua yang berasa menyesakkan dada masyarakat akan diangkat dan
dibenahi. Tentu yang mendengar akan senang.
Nah, untuk meraih simpati ini para calon
pemimpin tidak Cuma ngomong saja, saat mereka pulang mereka meninggalkan
sumbangan yang cukup menyejukkan mata, misalnya panti asuhan, pondok
pesanten, dan lain sebagainya.
Jadi, semakin banyak yang dikunjungi semakin
banyak pula janji-janji ang terucap oleh para calon pemimpin dan makin
banyak pula dana yang keluar.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Karena
yang dipilih hanya satu orang, maka yang lain gagal. Bagi yang gagal ada
yang biasa-biasa saja, ada juga yang stress karena dana kampanye dia
dari hasil hutang sehingga hutangnya di mana-mana.
Lantas bagaimana yang terpilih? Apakah dia
masih ingat janji-janjinya? Saya yakin seyakin-yakinnya, pasti masih
ingat. Terus kenapa dia tidak bisa merealisasikan janji-janjinya?
Memang bukan perkara mudah mengatasi
kemiskinan, sudah berapa milyar dana yang dikucurkan pemerintah untuk
kaum pinggiran? Apakah mereka berubah status menjadi kaum menengah?
Tidak. Sudah berapa trilyun dana yang dikucurkan untuk mengentaskan
kemiskinan? Apakah mereka perlahan menjadi kaya? Tidak, bahkan
orang-orang yang seharusnya memberi kepada orang miskin mengaku miskin
di saat ada dana malaikat yang turun dari pemerintah.
Kuncinya memang ada di setiap personal, di
setiap orang. Semua ini juga bergantung mental kita, jika mental kita
boss namun kenyataannya karyawan, dia akan bermalas-malasan. Berapapun
uang yang dikeluarkan oleh pemerintah, jika hanya untuk memberi
makanannya, maka makanan itu akan habis. Sepatutnya memang menciptakan
lapangan pekerjaan, mereka diberi modal untuk berwirausaha. Tentu
diberikan kepada orang yang benar-benar tepat, bukan yang hanya bisa
menghabiskan modal.
Jika realisasinya seperti ini tentu siapapun
pemimpinnya akan menghadapi hal yang sama. Bahkan akan mengalami hal
yang sama, yaitu gagal dalam memimpin. Jadi hematnya para calon pemimpin
itu sebelum jadi pemimpin harus bisa menghemat janji-janji, mereka bisa
mengerem sekiranya janji yang keluar dari lisannya itu hanya untuk
mencari massa. Mereka harus benar-benar sudah berpikir, janji yang
diucapkan pasti bisa terlaksana. Jika mereka bisa menghemat janji, tentu
mereka juga akan bisa menghemat anggaran negara.
Berikanlah kail kepada orang miskin, jangan
memberi ikannya. Berikan kolam kepada mereka, jangan memberi isi
kolamnya. Berikan kampak kepada mereka, jangan memberikan kayu bakarnya.
Berikan ladang kepada mereka, jangan berikan gandum. Berikan sawah
kepada mereka, jangan berikan beras.
***
Tuswan Reksameja, twitter @tuswanreksameja
Redaktur Majalah Fahma, twitter @majalahfahma
Bekerja di SDIT Hidayatullah Yogyakarta, twitter @sdhidayatullah
Pengurus Pimpinan Daerah Hidayatullah Kabupaten Sleman, twitter @hidsleman