(Sebuah Cerita Pendek)
Namaku Maria. Umurku 35 tahun lebih
4 bulan. Memang umur yang terlalu tua untuk ukuran gadis seperti aku. Tapi mau
bagaimana lagi. Belum ada seorang laki-laki pun yang masuk di hatiku atau
mungkin diriku yang tidak menarik bagi para laki-laki. Entahlah. Mungkin aku
tidak manarik bagi mereka atau juga aku yang tidak pernah mau menarik simpati
kepada mereka.
Aku sendiri tidak tahu. Mungkin aku
tidaklah secantik adik-adikku. Seperti si Marisa, walau umurnya baru 29 tahun
tapi sudah mempunyai dua momongan, Marsela, yang umurnya juga baru 27 tahun
sudah mempunyai dua anak bahkan satu-satunya adik laki-lakiku Maryono yang baru
berumur 25 tahunpun sudah punya satu anak. Kadang aku bahagia melihat mereka
bahagia dengan keluarga mereka, bercanda dengan keponakan-keponakanku, apalagi
ketika mereka memanggilku bu dhe, alangkah senangnya hati ini. Tapi kapankah
kebahagian itu datang kepadaku ? Kapankah kebahagian itu menjadi bagian dari
hidupku ? Adakah kebagiaan itu menjadi milik makhluk-Mu yang Engkau ciptakan
seperti aku ?
Memang secara kasat mata,
adik-adikku adalah manusia yang sempurna. Mereka cantik, tampan, mudah bergaul
sehingga banyak sahabat dan teman. Tidak seperti aku yang pendiam, pemalu
sehingga mungkin para laki-laki enggan atau bahkan tidak mau mengenaliku,
temanpun aku tidak punya. Hari-hariku hanya sendiri dan sendiri. Hanya
batu-batu yang sering aku ajak bicara, hanya tembok-tembok yang sering aku ajak
bercanda, hanya pohon-pohon yang aku ajak untuk mecurahkan isi hatiku, hanya
rumput-rumput yang aku ajak menangis, hanya angin yang aku ajak untuk tertawa.
Hanya merekalah yang menjadi temanku disaat aku gembira, disaat aku menangis,
disaat aku tertawa. Tidak ada yang lain. Alangkah sepi dan sunyinya hidupku.
Kadang-kadang aku menangis sendiri
ditengah malam. Kenapa aku diciptakan seperti ini ? Kenapa aku dilahirkan
seperti ini ? Kenapa Tuhan menciptakan aku seperti ini ? Apakah maunya Tuhan
menciptakan aku dalam keadaan seperti ini ? Adilkah Tuhan menjadikan aku
seperti ini ?
Aku memang cacat. Kata orang-orang
aku cacat mental, aku idiot aku kurang genap. Sehingga apa yang aku omongkan
kadang tidak nyambung. Bahkan kata orang-orang aku juga sering ngomong sendiri
tidak karuan, sering ngomel tidak jelas, aku sering diejek oleh anak-anak kecil
di lingkungan kampungku kalau aku ini orang edan, aku ini orang tidak waras,
aku ini orang gendeng. Aku sebenarnya marah banget pada mereka sehingga kalau
anak-anak itu mengejekku aku lempari saja mereka dengan batu. Tapi walau
keadaanku begini, aku masih punya perasaan kasihan pada anak-anak. Sehingga
kalau aku melempar mereka itu dengan batu yang kecil-kecil. Takut kalau nanti
kena dan melukai mereka. Nanti orang tua mereka marah. Ya kalau marahnya sama
aku. Seperti kejadian satu bulan yang lalu, karena marahnya aku diejek orang
edan, akhirnya aku ambil batu sebesar kepalan orang dewasa dan kulempar sekuat
tenagaku. Eh tiba-tiba salah satu dari mereka ada yang kena kakinya dan masuk
rumah sakit. Aku sih waktu itu tertawa-tawa kegirangan dan senang melihat ada
yang kena lempar batu. Tidak tahunya orang tuaku dimarahi besar-besaran oleh
orang tuanya si Joko, anak yang kena lempar batu aku. Bahkan mereka bilang sama
orang tuaku kalau nggak bisa mendidik anaklah, nggak bisa menjaga anaklah dan
yang paling menyakitkanku orang seperti dia (aku maksudnya) dibuang saja
jauh-jauh dari kampung ini. Karena dengan adanya aku, kampung ini jadi tidak
tenang, kampung ini jadi terasa kumuh, kampung ini jadi tidak aman, kampung ini
jadi kotor. Aduh, panas banget kuping ini mendengar ucapan mereka. Sakit hati
ini merasakannya. Apakah memang sudah tidak ada tempat bagi orang-orang
sepertiku ? Apakah semua mahkluk juga memang tidak mau menerima kehadiran
orang-orang seperti aku ? Tuhan kenapa aku Engkau ciptakan aku seperti ini ?
Tuhan beri aku kesabaran menerima penciptaan-Mu yang seperti ini.
Tapi dengan keadaan diriku yang
seperti ini, untuk urusan mengganggu orang lain aku tidak pernah, apalagi
sampai aku membuat tidak aman desa ini, membuat tidak tenteram desa ini. Aku
bukanlah pencuri, aku bukan garong, aku bukan rampok, aku bukan bromocorah, aku
bukan manusia busuk, aku juga manusia yang walau dilahirkan cacat mental, tapi
masih punya perasaan. Tidak seperti mereka para pejabat busuk, para koruptor,
walau mereka dilahirkan sempurna, dilahirkan tidak cacat, dilahirkan sehat
jasmani dan ruhani tapi otak mereka, pikiran mereka, pola pikir mereka, tingkah
laku mereka dan akhlak mereka sebenarnya cacat, sebenarnya tidak genap,
sebenarnya edan, sebenarnya gendeng, sebenarnya tidak waras. Kalau anak-anak
itu terluka, itu juga karena salah mereka sendiri kan ? Coba kalau mereka tidak
menggangguku, tidak mengejekku, tidak mengolok-olokku pasti aku tidak akan
marah, aku tidak akan melempari mereka dengan batu. Huh sebel deh. Sebel.
Aku sebenarnya kepingin sekali
melakukan apa yang sering kulihat. Seperti ketika adik-adik perempuanku kumpul
bareng dengan teman-teman mereka, yang kulihat kudung mereka itu besar-besar,
kudung mereka sampai menutup dada, mereka juga tidak memakai pakaian yang ketat
yang menampakkan lekuk-lekuk indah tubuh mereka. Tidak. Mereka juga tidak
kelihatan bermake up yang berlebihan. Alangkah sejuk dan damainya ada di
tengah-tengah mereka. Tuhan aku ingin seperti mereka. Mampukah aku ya Tuhan ?
Masih adakah tempat bagi orang seperti aku ? Masih adakah mahkluk yang mau
membimbingku ? Masih adakah ?
Mereka membaca sesuatu, yang kata
Marisa itu adalah al-qur'an. Pernah sekali aku mencoba membaca tulisan itu,
tapi aku nggak bisa sama sekali. Tulisannya seperti batik saja. Sering juga aku
melihat mereka berdiri bersama-sama, duduk bersama-sama, pokoknya semua serba
bersama. Dan pernah kutanyakan juga pada Marisa kalau itu adalah shalat. Aku
merasa ketika dekat dengan mereka hati ini menjadi tenang, tenteram, damai.
Tidak seperti ketika aku jalan-jalan ke pasar, melihat orang-orang yang sibuk
dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang menawarkan dagangannya, ada yang
menjadi tukang parkir, ada yang menjadi sopir bus, ada yang menjadi kondektur,
ada yang menjadi kenek, ada yang menjadi calo, ada yang jadi tukang ojek,
penarik becak, dan sebagainya. Wajah mereka begitu ganas, bermuka masam, tidak
punya belas kasihan, tidak ada kedamaian yang memancar dari wajah-wajah mereka,
sehingga ketika melihatku mereka menyentakku, mereka juga mengejekku, mereka
menghinaku. Kalau orang-orang seperti ini yang menyentak, mengejek, menghina
aku tidak berani melempar mereka dengan batu, aku beraninya hanya dengan anak
kecil.
Aku ingin seperti adik-adikku dan
teman mereka. Damai, sejuk, ramah, wajah mereka bersinar, muka mereka berseri.
Tidak seperti wanita kebanyakkan yang kudung mereka hanya dikalungkan saja di
leher sehingga putih lehernya juga kelihatan, mereka memakai bawahan yang
dibelah sampai lutut atau bahkan ada yang di atas lutut, sangat-sangat berlebihan,
sehingga mulus kaki mereka begitu menggoda lelaki, maka jangan salahkan 100 %
pada laki-laki jika terjadi pelecehan seksual pada mereka. Mereka memakai baju
amat kecil dan sempit yang pusar dan (maaf) celana dalam mereka kelihatan
ketika mereka duduk atau menunduk, lekuk-lekuk indah tubuh mereka yang sudah
menonjol semakin ditonjolkan walau kepala mereka tertutup kudung. Wajah dan
muka mereka juga dipermak dengan alat-alat kosmetik modern. Aku jadi bingung
sendiri. Mana yang benar ? Apakah adik-adik perempuanku dan teman-teman yang
sering kumpul dengan mereka atau wanita kebanyakkan yang sering memakai pakaian
yang seperti itu ? Ah masa bodoh, mana aku pikirin, aku kan orang edan, orang
gendeng, orang tidak waras. Buat apa mikirin yang begituan ?
"Biarkan saja semua manusia
diam, semua manusia membisu, tapi aku akan tetap bernyanyi, aku akan tetap
menari, aku akan tetap bicara." Ocehku, ketika aku berjalan dalam gang
sempit yang begitu kumuh sambil melenggak-lenggokan badanku yang sudah entah
berapa hari tidak mandi dan tidak mengganti pakaian. Tubuhku memang bau,
pakaianku memang kumal tapi aku tidak peduli. Aku tidak menghiraukan, karena
tidak ada orang yang menghiraukan diriku. Aku hanyalah seonggok sampah di mata
manusia. Tidak lebih.
"Huh dasar, wong edan."
Gumam seorang Bapak yang kulewati sambil memalingkan muka melihatku. Mungkin
karena jijik melihat diriku.
"Biarkan semua orang menghina,
semua orang mencemooh, toh Tuhan masih sayang sama aku." Ocehku yang
semakin tidak karuan tanpa punya rasa malu. Kata orang, rasa maluku dicabut
oleh Tuhan. Sehingga kadang orang-orang sepertiku telanjang di khalayak umumpun
mereka tidak malu bahkan dengan santainya mereka berjalan, berlenggok. Memungut
makanan yang ada di tong-tong sampah, di selokan-selokan, bagi kami itu terasa
nikmat karena itu adalah makanan yang dibuang, makanan yang sudah tidak
dibutuhkan, hati kami merasa tenang ketika memakannya. Aku tidak pernah
berpikir tentang penyakit, jorok, jijik. Dalam kehidupan kami tidak ada dan
tidak pernah ada.
Tidak seperti para pejabat koruptor
yang menjilat uang rakyat, memakan uang rakyat, memeras uang rakyat. Apakah
mereka merasa tenang? Apakah mereka merasa tenteram? Apakah mereka merasa damai
dengan makanan yang telah mereka makan? Dengan makanan yang masuk ke perut
mereka? Padahal untuk mendapatkan makanan itu mereka memeras uang rakyat,
mereka membohongi rakyat, mereka memeras rakyat, mereka mengkorupnya. Apakah
mereka tidak takut dengan api neraka yang akan membakar daging yang tumbuh dari
makanan yang haram?
Aku pantas bangga dengan diriku yang
seperti ini, walau dilahirkan cacat, tapi hati ini tidak cacat, hati ini masih
bernurani, hati ini masih beriman pada Tuhan. Tidak seperti para koruptor.
Apakah mereka tidak jijik dengan makanan mereka? Apakah mereka tidak takut
dengan penyakit yang akan didatangkan oleh Tuhan karena makanan mereka? Apakah
mereka tidak merasa jorok karena perbuatan dan tingkah laku mereka? Apakah
mereka punya hati nurani?
Aku berpikir, sebenarnya hati mereka
telah tertutup, hati mereka telah berpenyakit dan mereka tidak pernah mencari
obat untuk penyakit mereka, tapi mereka malah menambah racun sehingga menambah
penyakit pada diri meraka sendiri. Mereka perlu banyak belajar sama diriku,
walau aku dilahirkan seperti ini, dilahirkan cacat, tapi aku masih punya hati
untuk merenungi hakikat alam ini, aku masih punya moral untuk membohongi
rakyat, aku masih punya perasaan untuk merasakan betapa menderitanya rakyat
kecil ketika mereka diperas, ketika mereka dijilat, ketika mereka dibohongi.
Apakah memang para pejabat korup itu tidak pernah merasa kalau mereka digaji
dari uang rakyat. Seharusnya mereka mengayomi rakyat, seharusnya mereka menjadi
abdinya rakyat bukan menjadi penguasa kejam yang memeras rakyat. Merekalah yang
gila, bukan aku yang gila. Jangan anggap aku gila.
Yogyakarta, 08 April 2004
Namaku Maria. Umurku 35
tahun lebih 4 bulan. Memang umur yang terlalu tua untuk ukuran gadis
seperti aku. Tapi mau bagaimana lagi. Belum ada seorang laki-laki pun
yang masuk di hatiku atau mungkin diriku yang tidak menarik bagi para
laki-laki. Entahlah. Mungkin aku tidak manarik bagi mereka atau juga aku
yang tidak pernah mau menarik simpati kepada mereka.
Aku sendiri tidak tahu. Mungkin aku tidaklah secantik adik-adikku.
Seperti si Marisa, walau umurnya baru 29 tahun tapi sudah mempunyai dua
momongan, Marsela, yang umurnya juga baru 27 tahun sudah mempunyai dua
anak bahkan satu-satunya adik laki-lakiku Maryono yang baru berumur 25
tahunpun sudah punya satu anak. Kadang aku bahagia melihat mereka
bahagia dengan keluarga mereka, bercanda dengan keponakan-keponakanku,
apalagi ketika mereka memanggilku bu dhe, alangkah senangnya hati ini.
Tapi kapankah kebahagian itu datang kepadaku ? Kapankah kebahagian itu
menjadi bagian dari hidupku ? Adakah kebagiaan itu menjadi milik
makhluk-Mu yang Engkau ciptakan seperti aku ?
Memang secara kasat mata, adik-adikku adalah manusia yang sempurna.
Mereka cantik, tampan, mudah bergaul sehingga banyak sahabat dan teman.
Tidak seperti aku yang pendiam, pemalu sehingga mungkin para laki-laki
enggan atau bahkan tidak mau mengenaliku, temanpun aku tidak punya.
Hari-hariku hanya sendiri dan sendiri. Hanya batu-batu yang sering aku
ajak bicara, hanya tembok-tembok yang sering aku ajak bercanda, hanya
pohon-pohon yang aku ajak untuk mecurahkan isi hatiku, hanya
rumput-rumput yang aku ajak menangis, hanya angin yang aku ajak untuk
tertawa. Hanya merekalah yang menjadi temanku disaat aku gembira, disaat
aku menangis, disaat aku tertawa. Tidak ada yang lain. Alangkah sepi
dan sunyinya hidupku.
Kadang-kadang aku menangis sendiri ditengah malam. Kenapa aku diciptakan
seperti ini ? Kenapa aku dilahirkan seperti ini ? Kenapa Tuhan
menciptakan aku seperti ini ? Apakah maunya Tuhan menciptakan aku dalam
keadaan seperti ini ? Adilkah Tuhan menjadikan aku seperti ini ?
Aku memang cacat. Kata orang-orang aku cacat mental, aku idiot aku
kurang genap. Sehingga apa yang aku omongkan kadang tidak nyambung.
Bahkan kata orang-orang aku juga sering ngomong sendiri tidak karuan,
sering ngomel tidak jelas, aku sering diejek oleh anak-anak kecil di
lingkungan kampungku kalau aku ini orang edan, aku ini orang tidak
waras, aku ini orang gendeng. Aku sebenarnya marah banget pada mereka
sehingga kalau anak-anak itu mengejekku aku lempari saja mereka dengan
batu. Tapi walau keadaanku begini, aku masih punya perasaan kasihan pada
anak-anak. Sehingga kalau aku melempar mereka itu dengan batu yang
kecil-kecil. Takut kalau nanti kena dan melukai mereka. Nanti orang tua
mereka marah. Ya kalau marahnya sama aku. Seperti kejadian satu bulan
yang lalu, karena marahnya aku diejek orang edan, akhirnya aku ambil
batu sebesar kepalan orang dewasa dan kulempar sekuat tenagaku. Eh
tiba-tiba salah satu dari mereka ada yang kena kakinya dan masuk rumah
sakit. Aku sih waktu itu tertawa-tawa kegirangan dan senang melihat ada
yang kena lempar batu. Tidak tahunya orang tuaku dimarahi besar-besaran
oleh orang tuanya si Joko, anak yang kena lempar batu aku. Bahkan mereka
bilang sama orang tuaku kalau nggak bisa mendidik anaklah, nggak bisa
menjaga anaklah dan yang paling menyakitkanku orang seperti dia (aku
maksudnya) dibuang saja jauh-jauh dari kampung ini. Karena dengan adanya
aku, kampung ini jadi tidak tenang, kampung ini jadi terasa kumuh,
kampung ini jadi tidak aman, kampung ini jadi kotor. Aduh, panas banget
kuping ini mendengar ucapan mereka. Sakit hati ini merasakannya. Apakah
memang sudah tidak ada tempat bagi orang-orang sepertiku ? Apakah semua
mahkluk juga memang tidak mau menerima kehadiran orang-orang seperti aku
? Tuhan kenapa aku Engkau ciptakan aku seperti ini ? Tuhan beri aku
kesabaran menerima penciptaan-Mu yang seperti ini.
Tapi dengan keadaan diriku yang seperti ini, untuk urusan mengganggu
orang lain aku tidak pernah, apalagi sampai aku membuat tidak aman desa
ini, membuat tidak tenteram desa ini. Aku bukanlah pencuri, aku bukan
garong, aku bukan rampok, aku bukan bromocorah, aku bukan manusia busuk,
aku juga manusia yang walau dilahirkan cacat mental, tapi masih punya
perasaan. Tidak seperti mereka para pejabat busuk, para koruptor, walau
mereka dilahirkan sempurna, dilahirkan tidak cacat, dilahirkan sehat
jasmani dan ruhani tapi otak mereka, pikiran mereka, pola pikir mereka,
tingkah laku mereka dan akhlak mereka sebenarnya cacat, sebenarnya tidak
genap, sebenarnya edan, sebenarnya gendeng, sebenarnya tidak waras.
Kalau anak-anak itu terluka, itu juga karena salah mereka sendiri kan ?
Coba kalau mereka tidak menggangguku, tidak mengejekku, tidak
mengolok-olokku pasti aku tidak akan marah, aku tidak akan melempari
mereka dengan batu. Huh sebel deh. Sebel.
Aku sebenarnya kepingin sekali melakukan apa yang sering kulihat.
Seperti ketika adik-adik perempuanku kumpul bareng dengan teman-teman
mereka, yang kulihat kudung mereka itu besar-besar, kudung mereka sampai
menutup dada, mereka juga tidak memakai pakaian yang ketat yang
menampakkan lekuk-lekuk indah tubuh mereka. Tidak. Mereka juga tidak
kelihatan bermake up yang berlebihan. Alangkah sejuk dan damainya ada di
tengah-tengah mereka. Tuhan aku ingin seperti mereka. Mampukah aku ya
Tuhan ? Masih adakah tempat bagi orang seperti aku ? Masih adakah
mahkluk yang mau membimbingku ? Masih adakah ?
Mereka membaca sesuatu, yang kata Marisa itu adalah al-qur'an. Pernah
sekali aku mencoba membaca tulisan itu, tapi aku nggak bisa sama sekali.
Tulisannya seperti batik saja. Sering juga aku melihat mereka berdiri
bersama-sama, duduk bersama-sama, pokoknya semua serba bersama. Dan
pernah kutanyakan juga pada Marisa kalau itu adalah shalat. Aku merasa
ketika dekat dengan mereka hati ini menjadi tenang, tenteram, damai.
Tidak seperti ketika aku jalan-jalan ke pasar, melihat orang-orang yang
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang menawarkan dagangannya,
ada yang menjadi tukang parkir, ada yang menjadi sopir bus, ada yang
menjadi kondektur, ada yang menjadi kenek, ada yang menjadi calo, ada
yang jadi tukang ojek, penarik becak, dan sebagainya. Wajah mereka
begitu ganas, bermuka masam, tidak punya belas kasihan, tidak ada
kedamaian yang memancar dari wajah-wajah mereka, sehingga ketika
melihatku mereka menyentakku, mereka juga mengejekku, mereka menghinaku.
Kalau orang-orang seperti ini yang menyentak, mengejek, menghina aku
tidak berani melempar mereka dengan batu, aku beraninya hanya dengan
anak kecil.
Aku ingin seperti adik-adikku dan teman mereka. Damai, sejuk, ramah,
wajah mereka bersinar, muka mereka berseri. Tidak seperti wanita
kebanyakkan yang kudung mereka hanya dikalungkan saja di leher sehingga
putih lehernya juga kelihatan, mereka memakai bawahan yang dibelah
sampai lutut atau bahkan ada yang di atas lutut, sangat-sangat
berlebihan, sehingga mulus kaki mereka begitu menggoda lelaki, maka
jangan salahkan 100 % pada laki-laki jika terjadi pelecehan seksual pada
mereka. Mereka memakai baju amat kecil dan sempit yang pusar dan (maaf)
celana dalam mereka kelihatan ketika mereka duduk atau menunduk,
lekuk-lekuk indah tubuh mereka yang sudah menonjol semakin ditonjolkan
walau kepala mereka tertutup kudung. Wajah dan muka mereka juga dipermak
dengan alat-alat kosmetik modern. Aku jadi bingung sendiri. Mana yang
benar ? Apakah adik-adik perempuanku dan teman-teman yang sering kumpul
dengan mereka atau wanita kebanyakkan yang sering memakai pakaian yang
seperti itu ? Ah masa bodoh, mana aku pikirin, aku kan orang edan, orang
gendeng, orang tidak waras. Buat apa mikirin yang begituan ?
"Biarkan saja semua manusia diam, semua manusia membisu, tapi aku akan
tetap bernyanyi, aku akan tetap menari, aku akan tetap bicara." Ocehku,
ketika aku berjalan dalam gang sempit yang begitu kumuh sambil
melenggak-lenggokan badanku yang sudah entah berapa hari tidak mandi dan
tidak mengganti pakaian. Tubuhku memang bau, pakaianku memang kumal
tapi aku tidak peduli. Aku tidak menghiraukan, karena tidak ada orang
yang menghiraukan diriku. Aku hanyalah seonggok sampah di mata manusia.
Tidak lebih.
"Huh dasar, wong edan." Gumam seorang Bapak yang kulewati sambil
memalingkan muka melihatku. Mungkin karena jijik melihat diriku.
"Biarkan semua orang menghina, semua orang mencemooh, toh Tuhan masih
sayang sama aku." Ocehku yang semakin tidak karuan tanpa punya rasa
malu. Kata orang, rasa maluku dicabut oleh Tuhan. Sehingga kadang
orang-orang sepertiku telanjang di khalayak umumpun mereka tidak malu
bahkan dengan santainya mereka berjalan, berlenggok. Memungut makanan
yang ada di tong-tong sampah, di selokan-selokan, bagi kami itu terasa
nikmat karena itu adalah makanan yang dibuang, makanan yang sudah tidak
dibutuhkan, hati kami merasa tenang ketika memakannya. Aku tidak pernah
berpikir tentang penyakit, jorok, jijik. Dalam kehidupan kami tidak ada
dan tidak pernah ada.
Tidak seperti para pejabat koruptor yang menjilat uang rakyat, memakan
uang rakyat, memeras uang rakyat. Apakah mereka merasa tenang? Apakah
mereka merasa tenteram? Apakah mereka merasa damai dengan makanan yang
telah mereka makan? Dengan makanan yang masuk ke perut mereka? Padahal
untuk mendapatkan makanan itu mereka memeras uang rakyat, mereka
membohongi rakyat, mereka memeras rakyat, mereka mengkorupnya. Apakah
mereka tidak takut dengan api neraka yang akan membakar daging yang
tumbuh dari makanan yang haram?
Aku pantas bangga dengan diriku yang seperti ini, walau dilahirkan
cacat, tapi hati ini tidak cacat, hati ini masih bernurani, hati ini
masih beriman pada Tuhan. Tidak seperti para koruptor. Apakah mereka
tidak jijik dengan makanan mereka? Apakah mereka tidak takut dengan
penyakit yang akan didatangkan oleh Tuhan karena makanan mereka? Apakah
mereka tidak merasa jorok karena perbuatan dan tingkah laku mereka?
Apakah mereka punya hati nurani?
Aku berpikir, sebenarnya hati mereka telah tertutup, hati mereka telah
berpenyakit dan mereka tidak pernah mencari obat untuk penyakit mereka,
tapi mereka malah menambah racun sehingga menambah penyakit pada diri
meraka sendiri. Mereka perlu banyak belajar sama diriku, walau aku
dilahirkan seperti ini, dilahirkan cacat, tapi aku masih punya hati
untuk merenungi hakikat alam ini, aku masih punya moral untuk membohongi
rakyat, aku masih punya perasaan untuk merasakan betapa menderitanya
rakyat kecil ketika mereka diperas, ketika mereka dijilat, ketika mereka
dibohongi. Apakah memang para pejabat korup itu tidak pernah merasa
kalau mereka digaji dari uang rakyat. Seharusnya mereka mengayomi
rakyat, seharusnya mereka menjadi abdinya rakyat bukan menjadi penguasa
kejam yang memeras rakyat. Merekalah yang gila, bukan aku yang gila.
Jangan anggap aku gila.
Yogyakarta, 08 April 2004
Untuk teman-temanku di Cibangkong sana, doa kalian sangat membantuku.
Damailah selalu duniaku.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tuswanreksameja/jangan-anggap-aku-gila_55114d3a8133112741bc64e2
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tuswanreksameja/jangan-anggap-aku-gila_55114d3a8133112741bc64e2
Namaku Maria. Umurku 35
tahun lebih 4 bulan. Memang umur yang terlalu tua untuk ukuran gadis
seperti aku. Tapi mau bagaimana lagi. Belum ada seorang laki-laki pun
yang masuk di hatiku atau mungkin diriku yang tidak menarik bagi para
laki-laki. Entahlah. Mungkin aku tidak manarik bagi mereka atau juga aku
yang tidak pernah mau menarik simpati kepada mereka.
Aku sendiri tidak tahu. Mungkin aku tidaklah secantik adik-adikku.
Seperti si Marisa, walau umurnya baru 29 tahun tapi sudah mempunyai dua
momongan, Marsela, yang umurnya juga baru 27 tahun sudah mempunyai dua
anak bahkan satu-satunya adik laki-lakiku Maryono yang baru berumur 25
tahunpun sudah punya satu anak. Kadang aku bahagia melihat mereka
bahagia dengan keluarga mereka, bercanda dengan keponakan-keponakanku,
apalagi ketika mereka memanggilku bu dhe, alangkah senangnya hati ini.
Tapi kapankah kebahagian itu datang kepadaku ? Kapankah kebahagian itu
menjadi bagian dari hidupku ? Adakah kebagiaan itu menjadi milik
makhluk-Mu yang Engkau ciptakan seperti aku ?
Memang secara kasat mata, adik-adikku adalah manusia yang sempurna.
Mereka cantik, tampan, mudah bergaul sehingga banyak sahabat dan teman.
Tidak seperti aku yang pendiam, pemalu sehingga mungkin para laki-laki
enggan atau bahkan tidak mau mengenaliku, temanpun aku tidak punya.
Hari-hariku hanya sendiri dan sendiri. Hanya batu-batu yang sering aku
ajak bicara, hanya tembok-tembok yang sering aku ajak bercanda, hanya
pohon-pohon yang aku ajak untuk mecurahkan isi hatiku, hanya
rumput-rumput yang aku ajak menangis, hanya angin yang aku ajak untuk
tertawa. Hanya merekalah yang menjadi temanku disaat aku gembira, disaat
aku menangis, disaat aku tertawa. Tidak ada yang lain. Alangkah sepi
dan sunyinya hidupku.
Kadang-kadang aku menangis sendiri ditengah malam. Kenapa aku diciptakan
seperti ini ? Kenapa aku dilahirkan seperti ini ? Kenapa Tuhan
menciptakan aku seperti ini ? Apakah maunya Tuhan menciptakan aku dalam
keadaan seperti ini ? Adilkah Tuhan menjadikan aku seperti ini ?
Aku memang cacat. Kata orang-orang aku cacat mental, aku idiot aku
kurang genap. Sehingga apa yang aku omongkan kadang tidak nyambung.
Bahkan kata orang-orang aku juga sering ngomong sendiri tidak karuan,
sering ngomel tidak jelas, aku sering diejek oleh anak-anak kecil di
lingkungan kampungku kalau aku ini orang edan, aku ini orang tidak
waras, aku ini orang gendeng. Aku sebenarnya marah banget pada mereka
sehingga kalau anak-anak itu mengejekku aku lempari saja mereka dengan
batu. Tapi walau keadaanku begini, aku masih punya perasaan kasihan pada
anak-anak. Sehingga kalau aku melempar mereka itu dengan batu yang
kecil-kecil. Takut kalau nanti kena dan melukai mereka. Nanti orang tua
mereka marah. Ya kalau marahnya sama aku. Seperti kejadian satu bulan
yang lalu, karena marahnya aku diejek orang edan, akhirnya aku ambil
batu sebesar kepalan orang dewasa dan kulempar sekuat tenagaku. Eh
tiba-tiba salah satu dari mereka ada yang kena kakinya dan masuk rumah
sakit. Aku sih waktu itu tertawa-tawa kegirangan dan senang melihat ada
yang kena lempar batu. Tidak tahunya orang tuaku dimarahi besar-besaran
oleh orang tuanya si Joko, anak yang kena lempar batu aku. Bahkan mereka
bilang sama orang tuaku kalau nggak bisa mendidik anaklah, nggak bisa
menjaga anaklah dan yang paling menyakitkanku orang seperti dia (aku
maksudnya) dibuang saja jauh-jauh dari kampung ini. Karena dengan adanya
aku, kampung ini jadi tidak tenang, kampung ini jadi terasa kumuh,
kampung ini jadi tidak aman, kampung ini jadi kotor. Aduh, panas banget
kuping ini mendengar ucapan mereka. Sakit hati ini merasakannya. Apakah
memang sudah tidak ada tempat bagi orang-orang sepertiku ? Apakah semua
mahkluk juga memang tidak mau menerima kehadiran orang-orang seperti aku
? Tuhan kenapa aku Engkau ciptakan aku seperti ini ? Tuhan beri aku
kesabaran menerima penciptaan-Mu yang seperti ini.
Tapi dengan keadaan diriku yang seperti ini, untuk urusan mengganggu
orang lain aku tidak pernah, apalagi sampai aku membuat tidak aman desa
ini, membuat tidak tenteram desa ini. Aku bukanlah pencuri, aku bukan
garong, aku bukan rampok, aku bukan bromocorah, aku bukan manusia busuk,
aku juga manusia yang walau dilahirkan cacat mental, tapi masih punya
perasaan. Tidak seperti mereka para pejabat busuk, para koruptor, walau
mereka dilahirkan sempurna, dilahirkan tidak cacat, dilahirkan sehat
jasmani dan ruhani tapi otak mereka, pikiran mereka, pola pikir mereka,
tingkah laku mereka dan akhlak mereka sebenarnya cacat, sebenarnya tidak
genap, sebenarnya edan, sebenarnya gendeng, sebenarnya tidak waras.
Kalau anak-anak itu terluka, itu juga karena salah mereka sendiri kan ?
Coba kalau mereka tidak menggangguku, tidak mengejekku, tidak
mengolok-olokku pasti aku tidak akan marah, aku tidak akan melempari
mereka dengan batu. Huh sebel deh. Sebel.
Aku sebenarnya kepingin sekali melakukan apa yang sering kulihat.
Seperti ketika adik-adik perempuanku kumpul bareng dengan teman-teman
mereka, yang kulihat kudung mereka itu besar-besar, kudung mereka sampai
menutup dada, mereka juga tidak memakai pakaian yang ketat yang
menampakkan lekuk-lekuk indah tubuh mereka. Tidak. Mereka juga tidak
kelihatan bermake up yang berlebihan. Alangkah sejuk dan damainya ada di
tengah-tengah mereka. Tuhan aku ingin seperti mereka. Mampukah aku ya
Tuhan ? Masih adakah tempat bagi orang seperti aku ? Masih adakah
mahkluk yang mau membimbingku ? Masih adakah ?
Mereka membaca sesuatu, yang kata Marisa itu adalah al-qur'an. Pernah
sekali aku mencoba membaca tulisan itu, tapi aku nggak bisa sama sekali.
Tulisannya seperti batik saja. Sering juga aku melihat mereka berdiri
bersama-sama, duduk bersama-sama, pokoknya semua serba bersama. Dan
pernah kutanyakan juga pada Marisa kalau itu adalah shalat. Aku merasa
ketika dekat dengan mereka hati ini menjadi tenang, tenteram, damai.
Tidak seperti ketika aku jalan-jalan ke pasar, melihat orang-orang yang
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang menawarkan dagangannya,
ada yang menjadi tukang parkir, ada yang menjadi sopir bus, ada yang
menjadi kondektur, ada yang menjadi kenek, ada yang menjadi calo, ada
yang jadi tukang ojek, penarik becak, dan sebagainya. Wajah mereka
begitu ganas, bermuka masam, tidak punya belas kasihan, tidak ada
kedamaian yang memancar dari wajah-wajah mereka, sehingga ketika
melihatku mereka menyentakku, mereka juga mengejekku, mereka menghinaku.
Kalau orang-orang seperti ini yang menyentak, mengejek, menghina aku
tidak berani melempar mereka dengan batu, aku beraninya hanya dengan
anak kecil.
Aku ingin seperti adik-adikku dan teman mereka. Damai, sejuk, ramah,
wajah mereka bersinar, muka mereka berseri. Tidak seperti wanita
kebanyakkan yang kudung mereka hanya dikalungkan saja di leher sehingga
putih lehernya juga kelihatan, mereka memakai bawahan yang dibelah
sampai lutut atau bahkan ada yang di atas lutut, sangat-sangat
berlebihan, sehingga mulus kaki mereka begitu menggoda lelaki, maka
jangan salahkan 100 % pada laki-laki jika terjadi pelecehan seksual pada
mereka. Mereka memakai baju amat kecil dan sempit yang pusar dan (maaf)
celana dalam mereka kelihatan ketika mereka duduk atau menunduk,
lekuk-lekuk indah tubuh mereka yang sudah menonjol semakin ditonjolkan
walau kepala mereka tertutup kudung. Wajah dan muka mereka juga dipermak
dengan alat-alat kosmetik modern. Aku jadi bingung sendiri. Mana yang
benar ? Apakah adik-adik perempuanku dan teman-teman yang sering kumpul
dengan mereka atau wanita kebanyakkan yang sering memakai pakaian yang
seperti itu ? Ah masa bodoh, mana aku pikirin, aku kan orang edan, orang
gendeng, orang tidak waras. Buat apa mikirin yang begituan ?
"Biarkan saja semua manusia diam, semua manusia membisu, tapi aku akan
tetap bernyanyi, aku akan tetap menari, aku akan tetap bicara." Ocehku,
ketika aku berjalan dalam gang sempit yang begitu kumuh sambil
melenggak-lenggokan badanku yang sudah entah berapa hari tidak mandi dan
tidak mengganti pakaian. Tubuhku memang bau, pakaianku memang kumal
tapi aku tidak peduli. Aku tidak menghiraukan, karena tidak ada orang
yang menghiraukan diriku. Aku hanyalah seonggok sampah di mata manusia.
Tidak lebih.
"Huh dasar, wong edan." Gumam seorang Bapak yang kulewati sambil
memalingkan muka melihatku. Mungkin karena jijik melihat diriku.
"Biarkan semua orang menghina, semua orang mencemooh, toh Tuhan masih
sayang sama aku." Ocehku yang semakin tidak karuan tanpa punya rasa
malu. Kata orang, rasa maluku dicabut oleh Tuhan. Sehingga kadang
orang-orang sepertiku telanjang di khalayak umumpun mereka tidak malu
bahkan dengan santainya mereka berjalan, berlenggok. Memungut makanan
yang ada di tong-tong sampah, di selokan-selokan, bagi kami itu terasa
nikmat karena itu adalah makanan yang dibuang, makanan yang sudah tidak
dibutuhkan, hati kami merasa tenang ketika memakannya. Aku tidak pernah
berpikir tentang penyakit, jorok, jijik. Dalam kehidupan kami tidak ada
dan tidak pernah ada.
Tidak seperti para pejabat koruptor yang menjilat uang rakyat, memakan
uang rakyat, memeras uang rakyat. Apakah mereka merasa tenang? Apakah
mereka merasa tenteram? Apakah mereka merasa damai dengan makanan yang
telah mereka makan? Dengan makanan yang masuk ke perut mereka? Padahal
untuk mendapatkan makanan itu mereka memeras uang rakyat, mereka
membohongi rakyat, mereka memeras rakyat, mereka mengkorupnya. Apakah
mereka tidak takut dengan api neraka yang akan membakar daging yang
tumbuh dari makanan yang haram?
Aku pantas bangga dengan diriku yang seperti ini, walau dilahirkan
cacat, tapi hati ini tidak cacat, hati ini masih bernurani, hati ini
masih beriman pada Tuhan. Tidak seperti para koruptor. Apakah mereka
tidak jijik dengan makanan mereka? Apakah mereka tidak takut dengan
penyakit yang akan didatangkan oleh Tuhan karena makanan mereka? Apakah
mereka tidak merasa jorok karena perbuatan dan tingkah laku mereka?
Apakah mereka punya hati nurani?
Aku berpikir, sebenarnya hati mereka telah tertutup, hati mereka telah
berpenyakit dan mereka tidak pernah mencari obat untuk penyakit mereka,
tapi mereka malah menambah racun sehingga menambah penyakit pada diri
meraka sendiri. Mereka perlu banyak belajar sama diriku, walau aku
dilahirkan seperti ini, dilahirkan cacat, tapi aku masih punya hati
untuk merenungi hakikat alam ini, aku masih punya moral untuk membohongi
rakyat, aku masih punya perasaan untuk merasakan betapa menderitanya
rakyat kecil ketika mereka diperas, ketika mereka dijilat, ketika mereka
dibohongi. Apakah memang para pejabat korup itu tidak pernah merasa
kalau mereka digaji dari uang rakyat. Seharusnya mereka mengayomi
rakyat, seharusnya mereka menjadi abdinya rakyat bukan menjadi penguasa
kejam yang memeras rakyat. Merekalah yang gila, bukan aku yang gila.
Jangan anggap aku gila.
Yogyakarta, 08 April 2004
Untuk teman-temanku di Cibangkong sana, doa kalian sangat membantuku.
Damailah selalu duniaku.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tuswanreksameja/jangan-anggap-aku-gila_55114d3a8133112741bc64e2
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tuswanreksameja/jangan-anggap-aku-gila_55114d3a8133112741bc64e2
Namaku Maria. Umurku 35
tahun lebih 4 bulan. Memang umur yang terlalu tua untuk ukuran gadis
seperti aku. Tapi mau bagaimana lagi. Belum ada seorang laki-laki pun
yang masuk di hatiku atau mungkin diriku yang tidak menarik bagi para
laki-laki. Entahlah. Mungkin aku tidak manarik bagi mereka atau juga aku
yang tidak pernah mau menarik simpati kepada mereka.
Aku sendiri tidak tahu. Mungkin aku tidaklah secantik adik-adikku.
Seperti si Marisa, walau umurnya baru 29 tahun tapi sudah mempunyai dua
momongan, Marsela, yang umurnya juga baru 27 tahun sudah mempunyai dua
anak bahkan satu-satunya adik laki-lakiku Maryono yang baru berumur 25
tahunpun sudah punya satu anak. Kadang aku bahagia melihat mereka
bahagia dengan keluarga mereka, bercanda dengan keponakan-keponakanku,
apalagi ketika mereka memanggilku bu dhe, alangkah senangnya hati ini.
Tapi kapankah kebahagian itu datang kepadaku ? Kapankah kebahagian itu
menjadi bagian dari hidupku ? Adakah kebagiaan itu menjadi milik
makhluk-Mu yang Engkau ciptakan seperti aku ?
Memang secara kasat mata, adik-adikku adalah manusia yang sempurna.
Mereka cantik, tampan, mudah bergaul sehingga banyak sahabat dan teman.
Tidak seperti aku yang pendiam, pemalu sehingga mungkin para laki-laki
enggan atau bahkan tidak mau mengenaliku, temanpun aku tidak punya.
Hari-hariku hanya sendiri dan sendiri. Hanya batu-batu yang sering aku
ajak bicara, hanya tembok-tembok yang sering aku ajak bercanda, hanya
pohon-pohon yang aku ajak untuk mecurahkan isi hatiku, hanya
rumput-rumput yang aku ajak menangis, hanya angin yang aku ajak untuk
tertawa. Hanya merekalah yang menjadi temanku disaat aku gembira, disaat
aku menangis, disaat aku tertawa. Tidak ada yang lain. Alangkah sepi
dan sunyinya hidupku.
Kadang-kadang aku menangis sendiri ditengah malam. Kenapa aku diciptakan
seperti ini ? Kenapa aku dilahirkan seperti ini ? Kenapa Tuhan
menciptakan aku seperti ini ? Apakah maunya Tuhan menciptakan aku dalam
keadaan seperti ini ? Adilkah Tuhan menjadikan aku seperti ini ?
Aku memang cacat. Kata orang-orang aku cacat mental, aku idiot aku
kurang genap. Sehingga apa yang aku omongkan kadang tidak nyambung.
Bahkan kata orang-orang aku juga sering ngomong sendiri tidak karuan,
sering ngomel tidak jelas, aku sering diejek oleh anak-anak kecil di
lingkungan kampungku kalau aku ini orang edan, aku ini orang tidak
waras, aku ini orang gendeng. Aku sebenarnya marah banget pada mereka
sehingga kalau anak-anak itu mengejekku aku lempari saja mereka dengan
batu. Tapi walau keadaanku begini, aku masih punya perasaan kasihan pada
anak-anak. Sehingga kalau aku melempar mereka itu dengan batu yang
kecil-kecil. Takut kalau nanti kena dan melukai mereka. Nanti orang tua
mereka marah. Ya kalau marahnya sama aku. Seperti kejadian satu bulan
yang lalu, karena marahnya aku diejek orang edan, akhirnya aku ambil
batu sebesar kepalan orang dewasa dan kulempar sekuat tenagaku. Eh
tiba-tiba salah satu dari mereka ada yang kena kakinya dan masuk rumah
sakit. Aku sih waktu itu tertawa-tawa kegirangan dan senang melihat ada
yang kena lempar batu. Tidak tahunya orang tuaku dimarahi besar-besaran
oleh orang tuanya si Joko, anak yang kena lempar batu aku. Bahkan mereka
bilang sama orang tuaku kalau nggak bisa mendidik anaklah, nggak bisa
menjaga anaklah dan yang paling menyakitkanku orang seperti dia (aku
maksudnya) dibuang saja jauh-jauh dari kampung ini. Karena dengan adanya
aku, kampung ini jadi tidak tenang, kampung ini jadi terasa kumuh,
kampung ini jadi tidak aman, kampung ini jadi kotor. Aduh, panas banget
kuping ini mendengar ucapan mereka. Sakit hati ini merasakannya. Apakah
memang sudah tidak ada tempat bagi orang-orang sepertiku ? Apakah semua
mahkluk juga memang tidak mau menerima kehadiran orang-orang seperti aku
? Tuhan kenapa aku Engkau ciptakan aku seperti ini ? Tuhan beri aku
kesabaran menerima penciptaan-Mu yang seperti ini.
Tapi dengan keadaan diriku yang seperti ini, untuk urusan mengganggu
orang lain aku tidak pernah, apalagi sampai aku membuat tidak aman desa
ini, membuat tidak tenteram desa ini. Aku bukanlah pencuri, aku bukan
garong, aku bukan rampok, aku bukan bromocorah, aku bukan manusia busuk,
aku juga manusia yang walau dilahirkan cacat mental, tapi masih punya
perasaan. Tidak seperti mereka para pejabat busuk, para koruptor, walau
mereka dilahirkan sempurna, dilahirkan tidak cacat, dilahirkan sehat
jasmani dan ruhani tapi otak mereka, pikiran mereka, pola pikir mereka,
tingkah laku mereka dan akhlak mereka sebenarnya cacat, sebenarnya tidak
genap, sebenarnya edan, sebenarnya gendeng, sebenarnya tidak waras.
Kalau anak-anak itu terluka, itu juga karena salah mereka sendiri kan ?
Coba kalau mereka tidak menggangguku, tidak mengejekku, tidak
mengolok-olokku pasti aku tidak akan marah, aku tidak akan melempari
mereka dengan batu. Huh sebel deh. Sebel.
Aku sebenarnya kepingin sekali melakukan apa yang sering kulihat.
Seperti ketika adik-adik perempuanku kumpul bareng dengan teman-teman
mereka, yang kulihat kudung mereka itu besar-besar, kudung mereka sampai
menutup dada, mereka juga tidak memakai pakaian yang ketat yang
menampakkan lekuk-lekuk indah tubuh mereka. Tidak. Mereka juga tidak
kelihatan bermake up yang berlebihan. Alangkah sejuk dan damainya ada di
tengah-tengah mereka. Tuhan aku ingin seperti mereka. Mampukah aku ya
Tuhan ? Masih adakah tempat bagi orang seperti aku ? Masih adakah
mahkluk yang mau membimbingku ? Masih adakah ?
Mereka membaca sesuatu, yang kata Marisa itu adalah al-qur'an. Pernah
sekali aku mencoba membaca tulisan itu, tapi aku nggak bisa sama sekali.
Tulisannya seperti batik saja. Sering juga aku melihat mereka berdiri
bersama-sama, duduk bersama-sama, pokoknya semua serba bersama. Dan
pernah kutanyakan juga pada Marisa kalau itu adalah shalat. Aku merasa
ketika dekat dengan mereka hati ini menjadi tenang, tenteram, damai.
Tidak seperti ketika aku jalan-jalan ke pasar, melihat orang-orang yang
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang menawarkan dagangannya,
ada yang menjadi tukang parkir, ada yang menjadi sopir bus, ada yang
menjadi kondektur, ada yang menjadi kenek, ada yang menjadi calo, ada
yang jadi tukang ojek, penarik becak, dan sebagainya. Wajah mereka
begitu ganas, bermuka masam, tidak punya belas kasihan, tidak ada
kedamaian yang memancar dari wajah-wajah mereka, sehingga ketika
melihatku mereka menyentakku, mereka juga mengejekku, mereka menghinaku.
Kalau orang-orang seperti ini yang menyentak, mengejek, menghina aku
tidak berani melempar mereka dengan batu, aku beraninya hanya dengan
anak kecil.
Aku ingin seperti adik-adikku dan teman mereka. Damai, sejuk, ramah,
wajah mereka bersinar, muka mereka berseri. Tidak seperti wanita
kebanyakkan yang kudung mereka hanya dikalungkan saja di leher sehingga
putih lehernya juga kelihatan, mereka memakai bawahan yang dibelah
sampai lutut atau bahkan ada yang di atas lutut, sangat-sangat
berlebihan, sehingga mulus kaki mereka begitu menggoda lelaki, maka
jangan salahkan 100 % pada laki-laki jika terjadi pelecehan seksual pada
mereka. Mereka memakai baju amat kecil dan sempit yang pusar dan (maaf)
celana dalam mereka kelihatan ketika mereka duduk atau menunduk,
lekuk-lekuk indah tubuh mereka yang sudah menonjol semakin ditonjolkan
walau kepala mereka tertutup kudung. Wajah dan muka mereka juga dipermak
dengan alat-alat kosmetik modern. Aku jadi bingung sendiri. Mana yang
benar ? Apakah adik-adik perempuanku dan teman-teman yang sering kumpul
dengan mereka atau wanita kebanyakkan yang sering memakai pakaian yang
seperti itu ? Ah masa bodoh, mana aku pikirin, aku kan orang edan, orang
gendeng, orang tidak waras. Buat apa mikirin yang begituan ?
"Biarkan saja semua manusia diam, semua manusia membisu, tapi aku akan
tetap bernyanyi, aku akan tetap menari, aku akan tetap bicara." Ocehku,
ketika aku berjalan dalam gang sempit yang begitu kumuh sambil
melenggak-lenggokan badanku yang sudah entah berapa hari tidak mandi dan
tidak mengganti pakaian. Tubuhku memang bau, pakaianku memang kumal
tapi aku tidak peduli. Aku tidak menghiraukan, karena tidak ada orang
yang menghiraukan diriku. Aku hanyalah seonggok sampah di mata manusia.
Tidak lebih.
"Huh dasar, wong edan." Gumam seorang Bapak yang kulewati sambil
memalingkan muka melihatku. Mungkin karena jijik melihat diriku.
"Biarkan semua orang menghina, semua orang mencemooh, toh Tuhan masih
sayang sama aku." Ocehku yang semakin tidak karuan tanpa punya rasa
malu. Kata orang, rasa maluku dicabut oleh Tuhan. Sehingga kadang
orang-orang sepertiku telanjang di khalayak umumpun mereka tidak malu
bahkan dengan santainya mereka berjalan, berlenggok. Memungut makanan
yang ada di tong-tong sampah, di selokan-selokan, bagi kami itu terasa
nikmat karena itu adalah makanan yang dibuang, makanan yang sudah tidak
dibutuhkan, hati kami merasa tenang ketika memakannya. Aku tidak pernah
berpikir tentang penyakit, jorok, jijik. Dalam kehidupan kami tidak ada
dan tidak pernah ada.
Tidak seperti para pejabat koruptor yang menjilat uang rakyat, memakan
uang rakyat, memeras uang rakyat. Apakah mereka merasa tenang? Apakah
mereka merasa tenteram? Apakah mereka merasa damai dengan makanan yang
telah mereka makan? Dengan makanan yang masuk ke perut mereka? Padahal
untuk mendapatkan makanan itu mereka memeras uang rakyat, mereka
membohongi rakyat, mereka memeras rakyat, mereka mengkorupnya. Apakah
mereka tidak takut dengan api neraka yang akan membakar daging yang
tumbuh dari makanan yang haram?
Aku pantas bangga dengan diriku yang seperti ini, walau dilahirkan
cacat, tapi hati ini tidak cacat, hati ini masih bernurani, hati ini
masih beriman pada Tuhan. Tidak seperti para koruptor. Apakah mereka
tidak jijik dengan makanan mereka? Apakah mereka tidak takut dengan
penyakit yang akan didatangkan oleh Tuhan karena makanan mereka? Apakah
mereka tidak merasa jorok karena perbuatan dan tingkah laku mereka?
Apakah mereka punya hati nurani?
Aku berpikir, sebenarnya hati mereka telah tertutup, hati mereka telah
berpenyakit dan mereka tidak pernah mencari obat untuk penyakit mereka,
tapi mereka malah menambah racun sehingga menambah penyakit pada diri
meraka sendiri. Mereka perlu banyak belajar sama diriku, walau aku
dilahirkan seperti ini, dilahirkan cacat, tapi aku masih punya hati
untuk merenungi hakikat alam ini, aku masih punya moral untuk membohongi
rakyat, aku masih punya perasaan untuk merasakan betapa menderitanya
rakyat kecil ketika mereka diperas, ketika mereka dijilat, ketika mereka
dibohongi. Apakah memang para pejabat korup itu tidak pernah merasa
kalau mereka digaji dari uang rakyat. Seharusnya mereka mengayomi
rakyat, seharusnya mereka menjadi abdinya rakyat bukan menjadi penguasa
kejam yang memeras rakyat. Merekalah yang gila, bukan aku yang gila.
Jangan anggap aku gila.
Yogyakarta, 08 April 2004
Untuk teman-temanku di Cibangkong sana, doa kalian sangat membantuku.
Damailah selalu duniaku.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tuswanreksameja/jangan-anggap-aku-gila_55114d3a8133112741bc64e2
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tuswanreksameja/jangan-anggap-aku-gila_55114d3a8133112741bc64e2