Sinau A Ba Ta Tsa -->

Iklan Semua Halaman

Sinau A Ba Ta Tsa

Mahmud Thorif
05 Juni 2011

Ini terjadi tahun 1990 an, sudah lama juga ya saya hidup, tapi kok merasa baru sebentar, padahal umur saya juga sudah tidak muda alias tua. Yuk kita lanjutkan. Ketika saya berada di kampung halaman saya, tepatnya di daerah Perti-Cibangkong-Pekuncen-Banyumas-Jawa Tengah-Indonesia.

Waktu itu desa saya belum ada listrik, wah ndeso banget ya, tahun segitu kok belum ada listrik. Saya dan temen-temen sebaya saya selalu belajar ngaji di Mushola Al Ikhlas namanya. Guru ngaji saya berganti-ganti, mulai dari bapak-bapak sampai dengan ibu-ibu yang dengan tekun mengeja saya dan temen-temen mulai dari alif fatah a, alih kasroh i, alih dhomah u, A-I-U, ba fatah ba, ba kasroh bi, ba dhomah bu, BA-BI-BU dan seterusnya. (Maturnuwun-terimakasih kepada imam mushola kami, Bapak Danuri, yang sampai sekarang masih hidup, dan saya tidak pernah membalas jasa beliau, bahkan jarang mengingat beliau.)

Walau tiada listrik, tapi tiap habis maghrib kami luangkan waktu untuk belajar Alquran. Jangan tanya fasilitas di mushola kami, waktu itu hanya kitab turutan yang sudah kumak dan lampu petromak yang menjadi teman harian kami.

Selepas ngaji turutan, saya dan temen-temen ada tawaran untuk ngaji di tempat yang lebih tinggi. Tepatnya di tempat Pak Lik saya, (adik ipar ibu saya), Pak Midin namanya. Akhirnya Maghrib di mushola, selepas isya baru ngaji di tempat guru kami. Ngajinya masih melancarkan bacaan Alquran yang selama ini diajarkan di mushola. Sekilas profil, guru saya yang satu ini sampai sekarang aku tidak tahu beliau belajar di mana, yang jelas dari segi keilmuan tentang Alquran dan kitab gundul beliau menguasai, jadi saya yakin dan selalu menjadikan guru ngaji saya sebagai rujukan bermacam persoalan.

Guru ngaji saya ini orangnya sederhana, beliau berbisnis ayam potong dengan banyak ayam yang dipelihara. Bagi kami itu juga menjadi nilai segan buat kami untuk menghormati beliau. Di balik kesederhanaan beliau, ternyata beliau sangat tegas, pernah suatu hari kami tidak berangkat ngaji karena hujan sangat deras, kami dimarah habis-habisan saat berangkat esoknya. Padahaln ya namanya anak ndeso kadang untuk punya payung saja sulit, biasa kami pake payung pelepah pisang, daun-daun lain yang bisa dipake untuk jadi payung. Sehingga akhirnya pun saya dan temen-temen ketika hujan harus merelakan waktu untuk tetap berangkat agar tidak kena marah beliau.

Ngaji kami berfariasi, ada safinatunnajah (aku nggak paham sama sekali waktu itu), dan entah kitab-kita yang masih asing di telinga kami. Tapi kami tetap semangat.

Kepada temen-temen di Cibangkong sana, yang sekarang sudah berpencaran, ada yang masih tetap setia di cibangkong, mas narso, mas kirtam, mas sito, dll (jaga desa saya ya, terutama generasi mudanya), di kalimantan (mas joker, piwe kabar mas jok, wis duwe anak piro, mas wirya, kayaknya sudah jadi orang sampit sukses deh, bagi-bagi dong), di jakarta (mas jikin, nah ini dia penguasaha kita di jakarta).

salam sukses.

Sleman, 14 Mei 2011

di keheningan Subuh