Oleh : Mahmud
Thorif
Salimah,
adalah gadis mungil yang masih berusia 9 tahun. Jilbab yang ia kenakan terlihat
kusam, sepatu cats yang dia pakai sudah berubah dari warna aslinya, tali yang
semula warnanya putih sudah berubah warna menjadi kecoklatan. Tas yang dia
gendong setiap hari sudah terlihat jahitan di sana sini, tampak talinya hampir
putus karena banyaknya beban. Bahkan seragam sekolah yang setiap hari ia
kenakan tidak pernah terkena panasnya besi seterika.
Salimah
sekolah di sebuah SD Negeri yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Keadaan
ekonomilah yang membuat Salimah tidak seperti anak-anak pada umumnya. Setiap
sekolah, dia harus mampir ke kantin kecil yang ada di sekolahnya, bukan untuk
membeli jajan bersama teman-temannya yang setiap hari selalu diberi uang saku.
Bukan. Tetapi dia menitipkan barang dagangan yang dibuat oleh ibunya di kantin
sekolah. Ia berharap selalu, setelah selesai sekolah dagangannya habis terjual.
Salimah tidak pernah mempedulikan ada beberapa teman-temannya mencibirnya. Dia
hanya ingin berusaha membantu ibunda tercintanya.
Tidak
hanya berhenti di situ, setiap pulang sekolah, Salimah harus membantu ibunya
bekerja mencari uang demi mencukupi kebutuhan mereka dengan memungut
barang-barang bekas di sekeliling tempat tinggalnya. Lelah, penat, capai, haus,
dan lapar adalah makanan sehari-hari yang dia hadapi. Terkadang, badan sakitpun
dia berusaha sekuat tenaga untuk terus melakukan pekerjaannya. Beruntung
Salimah ditemani oleh gerobak dorongnya, sehingga badan mungilnya masih bisa
mendorong gerobak beserta muatannya.
Salimah
tidak pernah melihat dalam hidupnya sosok ayahnya. Kata Ibu, ayahnya meninggal
dalam sebuah kecelakaan kerja saat merantau di kota metropolitan Jakarta. Salimah
hanya bisa melihat sesosok ayahnya dari album usang pernikahan ibunya yang
sudah sangat buram karena tidak disimpan dengan baik. Masih kata ibunya, ayah
adalah sesosok yang sangat bertanggungjawab dalam keluarganya, Beliau tidak
kenal lelah dalam mencari nafkah untuk ibu dan anak-anaknya. Itulah sepenggal
kisah ayahnya, yang ia sendiri belum pernah berjumpa.
Terkadang
ia iri melihat teman-temannya bisa diantar oleh ayah mereka, mencium tangannya,
bahkan ada ayah dari teman-temannya yang mencium kening anaknya ketika melepas
di sekolah. Ah Ayah, aku rindu. Sayang, engkau telah pergi jauh meninggalkanku.
***
Sore
itu, hujan mengguyur dengan sangat deras kampung Salimah. Petir terdengar keras
masuk ke gendang telinga semua orang di sana membuat semua orang berusaha menutup
lubang telinga dengan telunjuk jari mereka. Kilat berkelebat bagaikan para
fotografer mengabadikan moment yang menakjubkan.
Salimah,
baru saja mendorong gerobak penuh muatnya. Hujan deras, petir menyambar, dan
kilat ia terobos. Basah kuyup tubuh mungilnya, jilbab merah kesangannya telah
basah oleh air hujan. Sore itu ia bertekad harus bisa menjual sebanyak mungkin
hasil pulungannya. Sayang sekali, hujan deras ini telah menghalanginya. Gerobak
dorong tidak bisa melewati derasnya air hujan yang bercampur dengan aliran
sungai. Terlalu kecil, bocah itu untuk menahan beban hidupnya.
Ah,
tapi siapa yang akan peduli dengan dia dan ibunya jika ia santai dan
duduk-duduk saja di rumah? Siapa? Pemerintah? Mustahil mereka akan
memperhatikan para orang miskin seperti dia. Para orang kaya yang di
pemerintahan itu hanya akan datang ketika membutuhkan orang miskin saja. Entah
siapa yang akan peduli dengan nasib orang miskin seperti mereka.
Gelapnya
malam telah menidurkan mata mungil Salimah beserta angan-angannya. Gadis kecil
itu tidur di samping ibunya hanya berselimutkan sarung bekas ayahnya. Merajut benang-benang
kusut kehidupan dalam mimpi-mimpinya.
***
“Salimah,
kenapa hari ini kamu terlambat?” Tanya Pak Hasan, guru kelas Salimah, dengan
suara yang meninggi.
“Sa...sa...
saya sakit, Pak.” Jawab Salimah dengan gemetar.
“Kalau
sakit kenapa masuk sekolah, hah?” Bentak Pak Hasan, memandang Salimah dengan
pandangan yang sangat tajam.
Salimah
hanya tertunduk. Ia menahan tangisnya. Tapi, butir-butir air bening itu
akhirnya tidak bisa ia tahan. Pipinya basah oleh air matanya. Ia mencoba
mengusap dengan lengan tangan mungilnya yang tampak menghitam karena kerasnya kehidupannya.
Ia tidak berani menatap wajah guru di depannya, apalagi menatap teman-temannya
yang sudah barang tentu akan semakin mengejeknya. Ia hanya tertunduk lesu,
menahan demam di badannya dan menahan gejolak pada jiwanya.
***
Siang
itu udara sangat terik, sinar mentari bagaikan bara yang memanggang kulit-kulit
manusia. Cuaca seperti ini membuat senang pabrik lotion, karena
produk-produknya laku keras. Lalu lalang kendaraan begitu ramai, mulai dari
mobil mewah keluaran terbaru sampai mobil dan motor yang suaranya memekakkan
telinga. Semua beradu cepat, saling mendahului.
Tidak
ketinggalan dengan Salimah, ia memacu laju kendarannya, maksudnya gerobaknya,
dengan kecepatan tinggi. Roda berdiameter 50 centimer itu ia kebut
sekencang-kencangnya. Suara badan gerobaknya membuat suasana jalan bertambah
ramai dengan kehadiran bocah kecil tersebut. Ia lupa bahwa kendaraannya,
maksudnya gerobagnya tidak dilengkapi dengan rem otomatis. Ia juga lupa,
gerobagnya tidak dilengkapi dengan kaca spion yang bisa melihat ke belakang.
Gubraaaak....
gerobag dorong itu menabrak pembatas jalan, lalu oleng ke tengah. Sebuah
kendaraan dengan laju yang sangat cepat menabraknya.
***
Salimah
terbaring di rumah sakit. Ia merasakan seluruh tubuhnya sakit.
tulang-belulangnya terasa mau lepas. Kepalanya terasa berputar-putar. Ia
mencoba mengingat-ingat sesuatu, tapi belum bisa mengingat apa yang telah
terjadi.
“Kamu
kecelakaan, Nduk.” Bisik Ibundanya yang telah ada di sampingnya.
“Saya
di mana, Ibu?” Tanyanya dengan suara yang lemah.
“Kamu
ada di rumah sakit, Nduk.” Jawab Ibunda Salimah menahan bulir-bulir air mata
yang ada di kelopak matanya.
“Kamu
istirahat ya,” Bisiknya dengan penuh kelembutan.
Salimah
hanya mengangguk. Bau obat di rumah sakit itu membuat kepalanya semakin
berputar-putar. Hingga ia tertidur pulas karena pengaruh obat yang telah
disuntikk ke dalam tubuhnya.
***
Hari
ini Salimah sangat bahagia. Ia akan pergi ke sebuah tempat membelikan sesuatu
untuk Ibundanya tercinta. Uang tabungannya kemarin dia hitung dan cukup untuk
membelikan sesuatu buat ibundanya. Uang tabungan itu ia kumpulkan hari demi
hari, minggu demi minggu, bahkan bulan demi bulan. Derasnya hujan, panasnya
matahari, ganasnya kilat dan petir tidak menghalanginya untuk mengumpulkan
rupiah demi rupiah setiap harinya.
Salimah
akan membeli kaki palsu buat Ibundanya. Iya. Kaki kiri Ibu Salimah pernah
diamputasi karena kecelakaan saat mendorong gerobagnya. Hingga Ibunya tidak
bisa kembali mendorong gerobag peninggalan ayahnya. Salimah tidak tega melihat
Ibundanya jika berjalan harus dengan tongkat bambunya. Ia mencari tahu, berapa
harga sebuah kaki palsu untuk ibunya.
Ibunda
Salimah mencoba kaki palsu yang telah dibelikan oleh putri kesayangannya. Ia
mencoba berjalan dengan kaki palsunya. Terasa sedikit nyeri, tapi lama-kelamaan
ia merasa lebih nyaman dengan kaki palsunya.
Ibu
itu memeluk erat Salimah, putrinya. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir
membasahi pipinya yang sudah keriput. Ia memeluk sangat erat putrinya, tidak
mau melepasnya.
“Terimakasih,
Nduk. Tentu kamu berbulan-bulan mengumpulkan uang untuk membeli ini.” Kata Ibunda.
Salimah
hanya diam. Air mata yang ia usahakan tidak tumpah dari kelopak matanyanya pun
tumpah.
“Ini
hadiah untuk Ibu.” Jawabnya lirih.
Yogyakarta,
6 Januari 2018.