Oleh Mahmud Thorif
Ehm...
Jika manusia
lebih cenderung senang diberi, maka wajar jika banyak manusia menjadi
peminta-minta dan wajar pula sedikit manusia menjadi pemberi yang baik.
Nah ....
Ada
kebahagiaan yang terpancar saat kita diberi sesuatu oleh orang lain. Itu semua
adalah pancaran dari hati dan biasanya lambat laun kebahagiaan ini akan pudar
seiring dengan berjalannya waktu dan berkurangnya ‘nilai’ dari sesuatu
tersebut.
Uhhuk ....
Ada
kebahagiaan terpancar pula saat kita memberi rasa bahagia kepada orang lain.
Tentulah rasa ini akan terasa lebih lama jika rasa bagahia ini dirasakan lebih
lama oleh orang lain. Pun rasa bahagia sang pemberi perlahan akan sirna seiring
berjalannya waktu dan pudarnya ‘nilai’ dari sesuatu yang telah kita beri.
Gubrak....
Menjadi
pemberi yang baik, ini adalah sesuatu yang mudah ditulis atau diucapkan namun
masih sulit untuk diterapkan. Iman kita sering tergoda menceritakan dengan
sombong kepada orang lain bahwa kita telah membantu ini itu, memberi ini itu,
menyumbang ini itu, dan sederet pemberian lainnya. Sungguh, jika niat
menceritakan ini dengan niat untuk menyombongkan diri, merendahkan orang lain
yang kita beri, maka runtuh pula pahala kita, ibarat kayu bakar yang dimakan
api. Ia akan menjadi abu. Ibarat daun-daun yang berguguran.
Tuing ....
Pun demikian,
kita bisa pula menjadi penerima yang buruk. Biasanya diawali dengan tidak
bersyukur, dengan tidak berterimakasih. Sehingga seringkali mencacat apa yang
diberikan orang lain ini. Tentu dengan menceritakan kekurangan, keburukan dari
sesuatu yang diberi oleh orang lain.
Eng ing eng
....
Akhirnya
sungguh jika kita ditakdirkan menjadi penerima, maka jadilah penerima yang baik
dan jika takdir ini menggiring kita menjadi pemberi, jadilah pemberi yang baik.
Demikian, salam
Berbincang
lebih lanjut silahkan follow twitter @emthorif dan like facebook Mahmud Thorif