Yang Dhohir Dinilai Manusia, Yang Batin Urusan Allah -->

Iklan Semua Halaman

Yang Dhohir Dinilai Manusia, Yang Batin Urusan Allah

Mahmud Thorif
23 Mei 2015


Oleh Mahmud Thorif
  
Keterbatasan manusia dalam hal penglihatan, pendengaran, dan perasaan menandakan bahwa manusia itu lemah. Maka tidak heran, ketika ada sebuah kesalahan manusia yang lain, cara meyakinkan hakim harus dengan bukti-bukti nyata, bukan rekayasa. Sebut saja ketika seseorang menuduh orang lain berzina, dalam hukum Islam ia harus mendatangkan 4 orang saksi sebagai bentuk untuk meyakinkan sang hakim. Lebih berat lagi, para saksi tersebut benar-benar menyaksikan secara ‘live’ perbuatan zina tersebut, artinya, bisa dipastikan bahwa laki-laki dan perempuan yang dituduh berzina tadi bukan sekedar berdua di kamar, namun ia benar-benar melakukan perbuatan yang selayaknya dilakukan suami dan istri. Nah, jika tuduhannya itu ternyata dusta, maka yang berhak dihukum yang menuduh atau yang melaporkan. Subhanallah, betapa tidak mudah menuduhkan kesalahan kepada orang lain.

Hem… sangat berbeda dengan jaman kita sekarang ini. Beberapa pekan yang lalu pemerintah penguasa negeri ini memblokir situs-situs Islam yang ‘dianggap radikal’. Iya ada 22 situs yang dianggap radikal harus dibredel penguasa negeri ini, padahal tidak semua situs-situs tersebut terbukti radikal. Sehingga pada akhirnya ada 12 situs yang oleh penguasa negeri ini dibuka kembali.

Sebuah tindakan ‘sembrono’ yang dilakukan penguasa yang notabene dihuni oleh mayoritas muslim ini. Tentulah ini berasal dari sebuah tuduhan yang tanpa dicarikan bukti-bukti terlebih dahulu. Hanya berupa praduga-praduga tanpa bukti. Tindakan ini telah mencoreng nama baik sang penguasa itu sendiri dan lebih-lebih situs-situs Islam yang diblokir. Berapa kerugian akibat dari tindakan ini? Ah tentu sangat banyak.  Pun penulis yakin, akibat dari tindakan ini yang semula simpatik kepada penguasa yang ada berubah menjadi antipatik.

Manusia memang hanya menghukumi yang tampak oleh mata saja, untuk urusan yang kasat mata, itu urusan Allah Ta’ala. Ada sebuah kisah dalam Kitab Riyadhus Shalihin, bahwa dalam suatu peperangan, ada dua sahabat muhajirin dan anshor sedang memerangi musuh seorang kafir. Setelah si orang kafir terdesak dan akan hendak ditebas oleh si anshor, tiba-tiba si kafir mengucapkan kalimat laa ilaha illallaah, maka si anshor ini mengurungkan niatnya membunuh si kafir. Namun tidak halnya dengan sahabat muhajirin, ia menebas leher si kafir hingga ia terbunuh.

Apa yang terjadi?
Kisah ini akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam (SAW) sehingga beliau bertanya kepada sahabat tadi, “Benarkah engkau membunuh si fulan setelah mengucapkan kalimat laa ilaha illallaah?” Tanya Rasulullah SAW. Sahabat muhajirin itu berkata, “Namun ia mengucap kalimat itu hanya karena ingin selamat saja, Ya Rasulullah.” Begitu kata sahabat. Hingga Rasulullah terus mengucapkan pertanyaan tersebut berulang-ulang. Sampailah Rasulullah SAW bersabda, “Apakah engkau mengetahui isi hatinya?” bahkan dalam hadits yang lain, “Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga tahu isi hati yang sesungguhnya?”

Dari kisah tersebut, maka manusia hanya bisa menghukumi manusia yang lain apa yang tampak oleh mata dan terdengar oleh telinga, untuk urusan yang kasat mata, urusan yang tersembunyi, manusia tidak punya kekuatan untuk mengetahuinya. Maka jika ada manusia yang menampakkan keburukkan dengan maksud untuk kebaikkan, manusia yang lain akan memandang sebuah keburukkan. Jika ada manusia yang menampakkan kebaikkan dengan maksud untuk keburukkan, manusia yang lain akan memandang sebuah kebaikkan.

Mahmud Thorif, Jogjakarta