“Apa mau kalian? Apa kalian tidak melihat
ayah tiap hari kerja, hah? Apa kalian tidak pernah membayangkan kalau
ayah tiap hari peras keringat banting tulang? Apa sih yang ada di otak
kalian? Apa?” Teriak Pak Toyib, ayah tiga anak kepada kedua anaknya yang
sudah beranjak remaja.
“Ayah rela bangun pagi benar dan pulan larut
malam demi kalian. Demi masa depan kalian. Demi cita-cita kalian. Tapi
apa balasannya? Apa? Kalian telah menghancurkan masa depan kalian
sendiri. Kalian telah mempermalukan saya sebagai ayah kalian.” Lanjutnya
masih dengan nada tinggi.
“Sudah… sudah… Ayah. Malu tuh didengar tetangga,” kata ibu Fatiha, pelan, takut menyinggung perasaan suaminya.
“Ibu diam.” Bentak Pak Toyib pada istrinya.
Ibu Fatiha hanya bisa terdiam melihat suaminya marah besar kepada kedua anaknya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba, plaaaak… sebuah tamparan mendarat
di pipi kiri Tahir dan plaaaak… sebuah tamparan mentah juga mendarat di
pipi kiri Mahir. Terlihat mata mereka berkaca-kaca, ingin rasanya mereka
melawan. Tapi dalam benak mereka, ini adalah ayah saya. Iya, dia adalah
ayah saya. Ayah yang telah membesarkan saya. Mungkin benar kata ayah,
kami anak-anak yang tidak tahu terimakasih. Kami anak-anak yang hanya
maunya sendiri. Kami anak-anak yang tidak taat aturan.
“Ayah, hentikan ayah.” Teriak Ibu Fatiha.
Pak Toyib terduduk lemas, mungkin dia
menyesali perbuatannya. Mata lelahnya terpejam, nafasnya saling
berkejaran memburu. Tangannya masih mengepal menandakan dia menahan
amarah yang meledak-ledak. Muka yang sudah ada keriputnya terlihat
memerah karena jantung memompa darah naik ke kepala. Kakinya terlihat
gemetar menahan gejolaknya. Giginya saling bertemu antara atas dan bawah
sehingga menimbulkan suara.
“Ayah, silahkan minum air putih,” bisik Ibu
Fatiha, istrinya yang juga sudah kelihatan beberapa kerutan di wajahnya.
Namun selalu terlihat teduh memandangnya.
Pak Toyib masih belum beranjak. Walau akhirnya dia menangkap segelas air putih yang disodorkan oleh istrinya.
“Sekarang, apa mau kalian,” kata Pak Toyib
sudah mulai terlihat tenang.”Ayah mau kalian memperbaiki kesalahan
kalian. Ayah akan memindah sekolah kalian ke pesantren. Besok kita
berangkat.” Katanya dengan suara berat. Lalu dia pergi ke belakang.
Entah apa yang dilakukan, mungkin menenangkan diri di ruang belakang
sambil melihat tanaman hias.
****
Bergegas Pak Toyib, Tahir dan Mahir menuju
stasiun kereta. Teriknya panas mentari siang itu tidak dihiraukan oleh
Pak Toyib. Bisingnya kendaraan yang berlalu lalang tidak menghalangi Pak
Toyib menuju keimpiannya, memindahkan putranya ke sebuah pesantren.
Tahir dan Mahir tidak berkata sepatahpun,
mereka bahkan takut menatap mata ayah mereka. Walau Pak Toyib sudah
tidak melihatkan wajah marahnya. Asap kendaraan membumbung tinggi
memenuhi ruang-ruang angkasa. Mereka menyebar menambah polusi udara di
kota tersebut. Ditambah lagi ramainya klakson dari mobl dan motor yang
ingin mendahului membuat suasana semakin bising. Jika emosi tidak
stabil, berkendaraan dalam keramaian ini bisa membuat darah makin naik,
sehingga hanya akan ada kemarahan, umpatan, dan caci makian.
Iya, inilah Kota Raga, kota yang sudah
terbiasa dengan kemacetan, kejahatan, dan bermacam. Pergaulan bebas
sudah menjadi kebiasaan remaja di kota ini. Rokok, minuman keras,
narkoba sudah menjadi santapan remaja di kota ini. Wanita-wanita
penghibur dengan mudah didapatkan di pojok-pojok jalan, mereka dengan
tidak malu menawarkan diri kepada pengguna jalan. Para waria juga tidak
kalah banyak, mereka sering duduk-duduk di sepanjang jalan menganggu
pengguna jalan. Perampokan, pencopetan, pemerkosaan, dan kejahatan
adalah santapan setiap hari di kota Raga ini.
Di kota inilah remaja Tahir dan Mahir hidup.
Wajar saja jika mereka menjadi remaja yang tidak mencintai rumah mereka,
menjadi remaja yang rela pulang larut malam, menjadi remaja yang gemar
keluyuran di malam hari. Mereka bisa bergaul bebas di mana saja, kapan
saja, dan dengan siapa saja. Minuman beralkohol sudah menjadi menu
sehari-harinya. Cimenk sudah menjadi isapan setiap saatnya.
Jika sudah tidak punya uang, menjarah, merampok, memeras menjadi
pekerjaan tiap harinya. Iya, inilah yang akan diputus mata rantainya
oleh Pak Toyib, agar anak-anaknya mempunyai lingkungan yang baik, agar
anak-anaknya mempunyai teman-teman yang bener.
Sebuah tekad yang memang harus diwujudkan. Walau harus mengorbankan waktu remaja Tahir dan Mahir.
“Ayah, kita mau ke mana?” Tanya Mahir agak sedikit terlihat ketakutan di wajahnya.
“Kita harus hijrah dari kota ini, Nak.
Harus.” Jawab Ayahnya sambil memejamkan mata. Pasti beliau membayangkan
jika anak-anaknya masih berada di kota ini sehari, dua hari, sebulan,
dua bulan, setahun, dua tahun akan mengubah perilaku baik mereka menjadi
buruk. Percuma saja Pak Tohir yang mengajarkan nilai-nilai agama setiap
hari Nmun lingkungan mereka tidak mendukungnya, lingkungan mereka malah
mengajarkan sebaliknya.
“Kita nanti tinggal di mana, Yah?” Tanya Mahir lagi.
“Tahukah kalian, anak-anakku. Sebuah cermin,
jika setiap hari terkena debu akan menjadi kotor, kotor, dan kotor,”
kata Pak Toyib, sedikit berfilosofi. “Lama-lama, jika cermin itu tidak
dibersihkan akan tertutup dan tidak bisa dibersihkan. Dibersihkan pun
jika alat pembersihnya tidak benar-benar bersih juga akan semakin
menambah kotor sebuah cermin tersebut. Begitupun kalian, kalian adalah
cermin itu dan alat pembersihnya adalah ayah kalian yang sudah tua ini,
alat pembersihnya adalah ibu kalian yang sebentar lagi akan menemui Sang
Tuhan. Jika kalian tetap berada di sisi Ayah dan Ibu kalian, saya takut
kalian tidak bisa menjadi bersih, karena kami orang tua kalian tidaklah
bisa membersihkan cermin kalian.” Kata Sang Ayah dengan berkaca-kaca.
“Aku akan mencarikan alat pembersih kalian, alat yang benar-benar bersih
sehingga ketika kalian ada setitik debu, alat tersebut bisa
membersihkannya. Yang mereka tidak akan rela ada setitik debu hinggap
pada kalian.” Ujarnya lebih lanjut.
“Saya ndak ngerti, Yah???” ungkap Tahir sangat lugu.
“Kelak engkau akan tahu, Nak.” Ujar Ayah.
“Kalian akan masuk pesantren. Iya, masuk pesantren, Nak. Aku ingin alat
pembersih kalian adalah sistem di pesantren, bukan sistem yang ada di
rumah kita yg sudah tidak bisa lagi mengarahkan kalian.” Kata Sang Ayah.
“Kelak saat kalian sudah beranjak dewasa, kalian sudah mengerti apa itu
arti sebuah kebaikan, apa arti sebuah nilai-nilai. Kalian juga kelak
akan menjadi orang tua, Nak. Anak punya istri, anak-anak, dan pasti juga
akan menggantikan peran Ayahmuekarang untuk mendidik, mengayomi, dan
mengarahkan istri dan anak-anak kalian. Aku takut, jika kalian sekarang
belajar dari orang yang salah dalam mendidik kalian. Kalian belajar dari
Ayahmu yang tidak becus mendidik kalian. Kalian harus belajar kepada
Pak Kyai bagaimana beliau mendidik, mengajarkan, dan menanamkan kebaikan
kepada kalian.” Kata Ayah dengan berkaca-kaca.
“Iyya, tapi pesantrennya di mana, Ayaaaah?” Tanya Mahir dengan sedikit suara meninggi 3 oktaf.
“Ayahmu juga belum tahu, Nak. Kita akan
berhenti di stasiun terakhir kerekta ini. Baru kita akan mencari sebuah
pesantren.” Kata sang Ayah sambil menghela nafas panjang. Menandakan
sedikit mengeluarkan beban yang ada di pikirnnya.
Mereka, ayah dan anak-anak terdiam. Entah apa
yang dipikirkan dalam otak mereka masing-masing. Sang ayah hanya ingin
anak-anaknya menjadi baik, walau dia tidak bisa membuat baik sekarang
ini. Bagi sang anak, heran kepada ayahnya, mengapa belum punya tujuan
pasti, pesantren mana? Di kota mana? Padahal ini adalah masa depan
mereka.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari cerita ini.
Tuswan Reksameja,
Redaktur Majalah Fahma, cerdas di rumah cerdasdi sekolah. Salam hangat
untuk Ayah dan Bunda semua di Indonesia, jika kita tidak bisa mendidik
anak-anak kita karena keterbatasan ilmu kita, kita bisa memberikan tugas
kita kepada orang yang lebih mampu. Jangan paksakan diri kita atas
ketidakmampuan ini.